Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku
Goa Gudawang
Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Gunung hijau menjulang begitu indah dengan panorama awan-awan putih sebagai bumbunya, lautan biru yang membentang begitu syahdu dengan pasir putih cantik di pinggirannya, bunga-bunga warna warni dengan padu padan yang serasi begitu menyejukkan mata ketika dipandang, begitulah Tuhan melukis bumi dengan segala keagunganNya. Tapi pernahkah kalian berpikir tentang keindahan bumi di bawah tanah yang kita pijak ini? Coklat? Kotor? Penuh organisme menjijikan? Begitulah kira-kira sepintas pandangan tentang tanah. Tapi ternyata bawah tanah menyembunyikan keindahannya dengan begitu anggun. Itulah yang ingin kami telisik pada perjalanan kali ini, 9 Agustus 2014.
Tuhan menciptakan manusia untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Gunung hijau menjulang begitu indah dengan panorama awan-awan putih sebagai bumbunya, lautan biru yang membentang begitu syahdu dengan pasir putih cantik di pinggirannya, bunga-bunga warna warni dengan padu padan yang serasi begitu menyejukkan mata ketika dipandang, begitulah Tuhan melukis bumi dengan segala keagunganNya. Tapi pernahkah kalian berpikir tentang keindahan bumi di bawah tanah yang kita pijak ini? Coklat? Kotor? Penuh organisme menjijikan? Begitulah kira-kira sepintas pandangan tentang tanah. Tapi ternyata bawah tanah menyembunyikan keindahannya dengan begitu anggun. Itulah yang ingin kami telisik pada perjalanan kali ini, 9 Agustus 2014.
“Goa Gudawang” kami pilih sebagai lokasi petualangan kami
selanjutnya. Agak mengecewakan memang
karena kali ini kami hanya pergi bertiga (aku, Annisa, dan Eka), karena hanya
bertiga dan perempuan semua inilah kami agak ragu untuk melanjutkan rencana
ini. Walaupun kami mengaku tangguh,
tetap saja ada rasa khawatir yang menumpuk di dada ini. Meski awalnya agak ragu, Goa Gudawang tetap
kami pilih karena rasa penasaran kami terhadap goa lebih besar dari keraguan
kami.
Aku pun berangkat dari kosan Cimanggu menuju stasiun dengan
naik angkot 12 (ongkos Rp 2.500). Sampai
di stasiun, aku melanjutkan perjalanan menuju terminal Bubulak dengan angkot 03
(ongkos Rp 3.000). Terminal Bubulak
adalah tempat janjian pertemuan kami. Di
terminal itu, Eka sudah menunggu dengan begitu bosan. Hanya aku dan Eka yang ada di situ kini. Kami masih harus menunggu Annisa sekitar 30
menit karena ternyata saat menuju terminal Bubulak ia mengalami insiden salah
naik angkot.
Setelah Annisa datang, langsung saja kami menuju lokasi
petualangan. Goa Gudawang terletak di Desa
Argapura, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor.
Dari terminal Bubulak (dari terminal Laladon juga bisa), kami naik
angkot 05 tujuan Jasinga (ongkos Rp 12.000). Perjalanan yang kami mulai pukul 10.00 dari
terminal Bubulak ini memakan waktu sekitar 2 jam. Benar-benar perjalanan yang jauh menurut
kami. Sudah begitu, waktu 2 jam ini
terasa lebih lama karena angkot yang kami tumpangi harus terjebak macet. Rasanya sudah seperti dipanggang dalam
oven. Ketika sudah melewati pasar (entah
pasar apa namanya), kami disuguhkan dengan pemandangan yang tidak asing lagi,
hamparan tanaman kelapa sawit. Kami agak
heran kenapa di lokasi yang hampir dingin ini, PTPN memutuskan untuk menanam
kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit sudah
lumrah kami temui di Lampung karena memang Lampung adalah tempat yang panas
(setidaknya begitulah untuk tempat-tempat dimana kelapa sawit banyak
ditemukan).
Kami sebenarnya tidak tahu akan turun dimana. Tetapi ketika sampai di sebuah pertigaan,
tiba-tiba supir angkot berhenti dan
memberitahu bahwa kami sudah sampai.
“Bunar”, itulah nama tempat pemberhentian kami ini (kalau tidak salah
ingat). Di pertigaan itu memang
terpasang beberapa penunjuk jalan yang menandakan bahwa kami memang turun di
lokasi yang tepat. Saat kami turun kami
langsung disambut belasan tukang ojek yang menawarkan diri untuk mengantar kami
ke lokasi wisata. Tapi kami
menolak. Kami harus tahu dulu berapa
umumnya ongkos angkutan di daerah ini, kami tidak ingin tertipu. Terbiasa tinggal di Lampung membuat kami
selalu dalam status waspada. Kami pun
memutuskan untuk singgah sejenak di warung makan Padang untuk istirahat
sekaligus membeli makan siang (nasi telur: Rp 9.000; nasi ikan: Rp 12.000) yang
akan kami makan di lokasi wisata nantinya.
Di sela-sela itulah, kami bertanya jarak wisata dari pertigaan itu dan
ongkos kendaraan umum di sana. Menurut penjual,
jarak dari pertigaan ke Goa Gudawang sekitar 2 km. Ongkos kalau naik ojek Rp 10.000 dan kalau
naik carry Rp 3.000. Tetapi mobil carry
tersebut hanya akan jalan jika penumpang sudah penuh. Karena kami hanya bertiga, otomatis
perjalanan kami akan semakin lama padahal waktu sudah sampai pada tengah hari
bolong. Kami pun memutuskan naik ojek. Tadinya tukang ojek meminta Rp 20.000 per
orang. Tentu kami tidak mau, kami kekeh
dengan harga Rp 10.000. Setelah
perdebatan agak panjang, tiga tukang ojek pun setuju untuk mengantar kami. Aku tidak
yakin jalan ini benar-benar 2 km, karena perjalanan terasa begitu lama. Di kanan kiri jalan, kami dikawal ribuan
tanaman kelapa sawit, seperti sedang survey mata kuliah perkebunan rasanya.
Setelah menempuh perjalanan berdebu sekitar 5 menit akhirnya
kami sampai di lokasi. Yeah, Welcome to
Goa Gudawang!! Aku langsung diam terpana ketika turun dari motor. Bukan karena kagum dengan panorama di sana
melainkan karena takut. Jantungku mendadak
berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Kesan
pertama sampai di sana adalah horor dan sedikit mistis. Hal ini bukan saja karena pemandangan asli daerah
itu, tapi juga didukung dengan kurang terawatnya lokasi wisata ini dan
pandangan semua orang di sana saat kami datang.
Semua yang ada di lokasi itu adalah laki-laki dan sepertinya kami adalah
pengunjung pertama saat itu. Makanya anggap
saja wajar jika semua mata langsung tertuju pada kami. Jika ini di Lampung, aku pasti sudah kabur
dan membatalkan niatku ke sana. Tapi Eka
meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja. Lagipula ini Bogor bukan Lampung.
Kami pun masuk dengan membayar Rp 7.000/orang. Terlihat sekali loket pintu masuknya tidak terawat. Tidak jauh dari loket tiket masuk, kami
menemui plang berlumut yang bertuliskan deskripsi singkat Goa Gudawang. Nama Gudawang berasal dari kata “Kuda Lawang”
yang artinya buntut atau ekor kuda yang dikepang. Di kawasan ini terdapat kurang lebih 12
goa. Tapi hanya 3 goa yang sudah
dikembangkan atau dikelola dan dibuka untuk umum, yaitu goa Simenteng,
Simasigit, dan Sipahang. Goa-goa yang
terletak di objek wisata Goa Gudawang merupakan goa alami yang terbentuk dari
proses sedimentasi yang terjadi selama ratusan tahun yang lalu. Waw, sungguh dahsyat memang ciptaan Tuhan
ini.
Goa yang akan kami kunjungi pertama kali adalah
Simenteng. Goa Simenteng terletak
sekitar 50 meter dari goa Simasigit. Panjang goa Simenteng sekitar 250 meter. Di dalam goa pengunjung bisa melihat
staklaktit, stalagmit dan gourdam yaitu kolam bertingkat-tingkat yang terbentuk
karena pengendapan kalsit distalakmit. Lebih mudahnya, staklaktik atau stalagmit
merupakan sebuah bebatuan unik dengan bentuk mengkerucut dan umumnya dapat
ditemukan menggantung pada sekitar dinding-dinding goa. Bebatuan ini terbentuk
dari hasil tetesan air dan mengandung beberapa unsur mineral sejak ratusan
tahun lalu. Perbedaan antara staklaktit,
stalagmit dan gourdam secara pasti, aku juga kurang paham (Search di google aja ya….). Di dalam goa ini juga terdapat aliran sungai yang sumbernya
berasal dari Bukit Rengganis. Dinamakan goa Simenteng, konon karena di sekitar
goa dahulunya banyak ditumbuhi pohon menteng. Sayangnya sekarang pohon menteng tersebut
tidak ada lagi. Mulut goa ini sudah
didesain sedemikian rupa menyerupai mulut binatang buas yang menganga disertai
giginya yang tajam.
Jalan masuk ke goa
ini juga sudah dipermudah dengan adanya tangga dan lampu penerangan yang cukup
memadai. Awalnya kami memang berniat
masuk ke goa ini secara mandiri. Tetapi tiba-tiba
ada seorang pemuda yang menghampiri kami, memberi kami senter, dan sepertinya
merupakan petugas pemandu di tempat wisata ini. Tentu dengan senang hati kami menerima
beliau. Beliaulah yang juga menjadi juru
foto kami.
Meskipun goa Simenteng sudah dilengkapi dengan lampu
penerangan yang cukup memadai, tetapi senter juga wajib dibawa karena tidak
seluruh bagian goa dilengkapi lampu. Lagipula,
pasti tidak seru kalau di dalam goa cahayanya terang benderang. Petualangan pun dimulai. Kami menuruni anak tangga yang lumayan curam,
berjalan dalam kegelapan perut bumi. Ukiran
alami batu eksotik nan unik di sepanjang dinding goa senantiasa menemani
kami. Sulit menjelaskan keindahan
ciptaan Tuhan ini. Tiada kata yang bisa
mewakilkan kekaguman kami pada sang Mahapencipta.
Selanjutnya kami sampai di lokasi yang kami kira adalah
ujung goa. Di tempat ini, terdapat air
yang menggenang dengan ketinggian sekitar 30 cm. Memang masih terdapat jalan di depan sana
tetapi tampak sempit. Karena penasaran,
kami tetap melanjutkan perjalanan menelusuri tempat sempit tersebut. Luar biasa, ini baru namanya
petualangan.
Sangat seru rasanya menelusuri
jalan-jalan sempit. Untuk kesekian
kalinya kami merasa salah kostum. Seharusnya
tas tidak dibawa ke tempat ini karena tas hanya menjadi beban ketika harus
melewati celah sempit. Selain itu, seharusnya
kami memakai sepatu antiair dan tidak licin bukan sepatu yang sehari-hari dipakai
kuliah seperti ini Kami tahu bahwa kami
akan berkunjung ke goa tapi pakaian kami mencerminkan kami akan pergi ke pusat
perbelanjaan. Benar-benar zonk! Salah kostum ini menyulitkan kami dalam
menyusuri goa.
Akhirnya sampailah kami di kediaman Tuan Kelelawar. Ini pertama kalinya kami melihat kelelawar
langsung di habitat aslinya. Sungguh mahabesar
Tuhan dengan segala ciptaanNya.
Menelusuri lorong gelap penuh kelelawar adalah hal mengagumkan bagi kami
para petualang pemula.
Sampai di lokasi
yang agak menanjak dan penuh bebatuan alami, kami beristirahat sejenak. Sambil mengatur nafasnya, pemandu kami
berkata bahwa di depan masih ada jalan lagi.
Tetapi sempit dan sangat terjal. Jika
saja kami membawa perlengkapan safety
yang lengkap, pemandu akan mengajak kami ke lokasi yang lebih seru.
Sayangnya, harapan itu pupus. Atas nama keamanan, kami pun kembali menuju
pintu masuk semula. Di perjalanan
kembali ini, pemandu juga menunjukkan jalan yang akan mengantar kami menuju goa
Simasigit dan Sipahang langsung dari goa Simenteng ini. Tapi lagi-lagi jalannya sangat sempit, licin,
dan terjal. Dengan style belanja kami ini, memaksakan diri melewati jalanan itu hanya
akan menyebabkan hal buruk terjadi. Kami
pun kembali. Di perjalanan ini kami
sempat berfoto-foto di lokasi yang tadi belum diambil gambarnya.
Menyusuri goa ternyata sangat melelahkan, mungkin sama
dengan mendaki puncak gunung. Rasa penyesalan
karena tidak membawa peralatan safety masih mengganjal perasaan kami. Tapi ya sudahlah, namanya juga pengalaman
pertama. Sebagai pemula, kami cukup puas
dengan petualangan ini.
Sebelum menuju goa selanjutnya, kami istirahat makan siang di gazebo samping pintu masuk goa Simenteng. Kami bingung akan membuang bungkusan nasi kami ini dimana. Tidak ada fasilitas tempat sampah di lokasi ini. Padahal sebagai mahasiswi yang mendukung penuh gerakan cinta alam dan jaga kebersihan, kami hendak membuang sampah pada tempatnya. Tapi apa yang harus kami lakukan jika kondisinya seperti ini. Sampah sisa makan pun hanya kami letakkan di lokasi yang kami duga sebagai tempat pembakaran sampah. Setelah itu kami sholat di tempat yang katanya Mushola. Lagi-lagi, fasilitas di sini sangat tidak terawat. Kamar mandinya kotor dan dipenuhi sawang. Kran air mati padalah air di kamar mandi hanya ada sedikit dan seperti sudah puluhan tahun tidak digunakan. Terpaksa kami pun tetap menggunakannya untuk wudhu lantaran tidak ada kamar mandi lain di sekitar situ. Musholanya pun tampak tidak pernah dibersihkan berabad-abad. Untung saja kami bawa alat sholat sendiri. Sungguh sangat disayangkan fasilitas yang ada di lokasi wisata ini. Pengelola belum mampu menyeimbangkan keindahan goa dengan fasilitas penunjang yang lain.
Sebelum menuju goa selanjutnya, kami istirahat makan siang di gazebo samping pintu masuk goa Simenteng. Kami bingung akan membuang bungkusan nasi kami ini dimana. Tidak ada fasilitas tempat sampah di lokasi ini. Padahal sebagai mahasiswi yang mendukung penuh gerakan cinta alam dan jaga kebersihan, kami hendak membuang sampah pada tempatnya. Tapi apa yang harus kami lakukan jika kondisinya seperti ini. Sampah sisa makan pun hanya kami letakkan di lokasi yang kami duga sebagai tempat pembakaran sampah. Setelah itu kami sholat di tempat yang katanya Mushola. Lagi-lagi, fasilitas di sini sangat tidak terawat. Kamar mandinya kotor dan dipenuhi sawang. Kran air mati padalah air di kamar mandi hanya ada sedikit dan seperti sudah puluhan tahun tidak digunakan. Terpaksa kami pun tetap menggunakannya untuk wudhu lantaran tidak ada kamar mandi lain di sekitar situ. Musholanya pun tampak tidak pernah dibersihkan berabad-abad. Untung saja kami bawa alat sholat sendiri. Sungguh sangat disayangkan fasilitas yang ada di lokasi wisata ini. Pengelola belum mampu menyeimbangkan keindahan goa dengan fasilitas penunjang yang lain.
Lupakan hal itu, kami melanjutkan petualangan ke goa selanjutnya, yaitu goa Sipahang. Goa ini terletak sekitar 300 m dari pintu loket. Goa Sipahang mempunyai 2 mulut goa dengan diameter sekitar 7 m. Mulut goa sebelah kiri mempunyai sipat yang apabila hujan sering sekali banjir. Aliran sungainya terhubung dengan goa Simenteng. Sedangkan di mulut goa sebelah kanan terdapat stalagmite dan stalaktit serta aliran sungai sepanjang ± 600 m yang bisa dilalui. Begitulah yang tertulis di plang samping mulut goa. Sebenarnya kami tidak terlalu paham dengan maksud penjelasan itu bahkan kami pun tidak tahu mana yang dimaksud mulut goa kanan atau kiri. Ya sudahlah, inti jalan-jalan adalah refreshing, lupakan soal yang rumit-rumit.
Kalau dibandingkan dengan goa Simenteng, perjalanan menuju goa Sipahang ini jauh lebih asri. Kami ditemani banyak sekali pohon. Sayangnya fasilitas yang dibangun di sekitar goa tidak terurus dengan baik. Kami berjalan menuruni tangga untuk menuju ke pintu goa. Suasananya sejuk sekali. Menurut pemandu kami, dahulu sebelum dibuat tangga orang-orang yang ingin masuk ke goa ini masuk menggunakan tali. Hm, seru sekali pasti, pikirku dalam hati.
Pintu goa ini ditutup dengan jeruji besi. Kali ini anggota kami bertambah satu orang,
sepertinya merupakan teman pemandu kami.
Ya lumayanlah untuk peramai suasana.
Saat kami masuk ke goa, suasananya 100% gelap, tidak ada penerangan sama sekali. Ternyata, pemandu kami lupa menghidupkan lampu. Ia pun kembali ke atas dan lampu di dalam goa menyala. Tampak lorong bebatuan di depan kami, aku pun dengan sigap langsung mengambil gambar lorong tersebut. Alhasil, betapa terkejutnya aku karena bukan gambar lorong yang ditangkap kamera melainkan gambar puluhan orbs. Ini adalah kali pertama aku melihat gerombolan orbs sebanyak ini.
Saat kami masuk ke goa, suasananya 100% gelap, tidak ada penerangan sama sekali. Ternyata, pemandu kami lupa menghidupkan lampu. Ia pun kembali ke atas dan lampu di dalam goa menyala. Tampak lorong bebatuan di depan kami, aku pun dengan sigap langsung mengambil gambar lorong tersebut. Alhasil, betapa terkejutnya aku karena bukan gambar lorong yang ditangkap kamera melainkan gambar puluhan orbs. Ini adalah kali pertama aku melihat gerombolan orbs sebanyak ini.
Orbs adalah gambar bulat transparan pada gambar hasil jepretan kamera. Gambar ini muncul karena pantulan cahaya blitz kamera mengenai sesuatu yang halus. Sesuatu yang halus ini didefinisikan oleh beberapa orang sebagai debu, uap air, bahkan makhluk halus. Annisa menunjukkan gambar yang fenomenal ini kepada temannya yang katanya bisa melihat makhluk halus. Menurut temannya Annisa, ada seseorang sedang jongkok di foto tersebut. Entahlah, wallahualam. Boleh percaya, boleh tidak. Pada kenyataannya selain menciptakan manusia, Tuhan juga menciptakan jin dari cahaya dan menciptakan syetan dari api. Semua makhluk ciptaanNya tentu berhak hidup di bumiNya dengan alamnya masing-masing. Awalnya, kami kira hanya foto ini yang menangkap fenomena orbs. Setelah kami memasukkan semua foto hasil kunjungan ke goa ke dalam laptop, barulah kami tahu bahwa sebagian besar foto kami menangkap fenomena orbs ini. Baiklah, lupakan saja soal orbs.
Petualangan kami tetap berlanjut. Jalan menyusuri goa Sipahang ini jauh lebih seru dibanding goa Simenteng. Sungguh menyesal orang-orang yang menolak berpetualang dengan kami hari ini. Kami harus melewati lorong-lorong gelap, menyusuri sungai bawah tanah berinteraksi dengan dinginnya air, berjalan merangkak melewati celah sempit, menjaga keseimbangan dalam setiap tapak dan lompatan kami. The greatest experience!
Menurut cerita pemandu kami, goa ini sering dipakai orang
untuk bertapa. Petualangan kami di goa
ini berujung pada lokasi pertapaan tersebut.
Untuk menuju ke sana kami harus sangat berhati-hati karena kepala kami bisa
saja jadi korban apalagi ketika kami merangkak menelusuri celah sempit. Di sepanjang celah sempit yang kami lewati,
ada banyak batuan yang lumayan tajam. Di
batu tempat kami menginjakkan kami pun maut selalu mengintai tatkala kami salah
memilih jalan, maklum batuannya sangat licin. Kekaguman yang luar biasa
terpancar dari mata kami ketika sampai di lokasi pertapaan. Kami kagum akan keindahan batuan yang biasa
menjadi tempat duduk para petapa. Batuan
tersebut tampak begitu terjal dengan degradasi warna putih, coklat, merah,
kuning yang menyatu seperti aliran air terjun.
Jika terpeleset di lokasi itu,
sudah pasti akan langsung menghadap Illahi.
Di lokasi pertapaan itu, kami menemukan kelapa, telur, dan tulang-tulang ayam yang disinyalir merupakan alat pelengkap pertapaan. Di sela-sela dindingnya kami mendapati hewan yang sedang bersembunyi dalam kegelapan. Puas berfoto di tempat ini, kami pun kembali.
Di lokasi pertapaan itu, kami menemukan kelapa, telur, dan tulang-tulang ayam yang disinyalir merupakan alat pelengkap pertapaan. Di sela-sela dindingnya kami mendapati hewan yang sedang bersembunyi dalam kegelapan. Puas berfoto di tempat ini, kami pun kembali.
Di perjalanan kami menuju pintu masuk goa, lagi-lagi kami
dibuat iri. Sambil menunjuk sebuah
aliran sungai, pemandu kami berkata jika kami membawa perlengkapan safety lengkap, kami akan dipandu
menyusuri sungai menuju staklaktit, stalakmit dan gourdam terindah di goa ini.
Hm, seandainya….
Sebelum benar-benar keluar dari goa Sipahang ini, kami
membersihkan tangan dan kaki di sungai dekat pintu masuk goa. Tangan dan kaki kami dipenuhi lumayan banyak
lumpur. Menurut pemandu, jika kami
menyusuri sungai dari goa Simenteng, maka di sungai inilah kami akan berlabuh. Sungai inilah yang menghubungkan goa
Simenteng dengan Sipahang.
Pengaturan nafas kami benar-benar buruk. Sampai di atas, kami seperti kehilangan
separuh nafas. Lelah sekali rasanya. Kami pun beristirahat sejenak.
Setelah tenaga separuh terisi kami kembali menelusuri jalan
menuju goa terakhir, Simasigit. Goa ini
memiliki kedalaman sekitar 1,5 m dan panjang 40 m. Goa Simasigit belum bisa digunakan sampai
tembus ke goa lain karena pintu masuk yang begitu sempit untuk bisa sampai ke
ujung goa. Bangunan pintu masuk goa ini
dibangun pada tahun 1990, dilengkapi dengan 15 buah anak tangga dan lubang
ventilasi di dua tempat (kami tidak tahu ventilasi yang dimaksud itu ada
dimana).
Setelah menuruni tangga, kami disambut sebuah batu yang
katanya cerminan dari bangunan masjid. Tidak jauh dari dari batu itu tampak
batu lain yang mirip seperti mimbar yang biasa digunakan pemuka agama untuk
menyampaikan ceramahnya. Jadi penasaran,
apakah dahulu goa ini dipakai sebagai
tempat penyebaran agama atau itu hanya sekedar karya Tuhan untuk menunjukkan kebesaranNya,
bahwa replika masjid pun bisa diciptakanNya di dalam perut bumi. Wallahualam,
Mahabesar Tuhan dengan segala ciptaanNya.
Di belakang batu yang mirip bangunan masjid itu, terdapat dataran yang lebih rendah daripada di sekitarnya. Dataran itu terbagi menjadi 2 jalan. Untuk petualangan pertama, kami memilih jalan sebelah kanan. Gelap luar biasa, itulah yang kami temui di tempat ini. Kami terhenti saat pemandu menunjukkan keajaiban tempat ini. Ia mengarahkan senternya ke langit goa. Subhanallah, ratusan kelelawar langsung berterbangan. Di atas kepala kami saat ini adalah sarang ratusan kelelawar. Kali ini kelelawarnya lebih banyak dibanding saat di goa Simenteng. Memang dari awal masuk, bau kotoran kelelawar sudah berebut ingin menghangatkan diri di lubang hidung kami.
Di belakang batu yang mirip bangunan masjid itu, terdapat dataran yang lebih rendah daripada di sekitarnya. Dataran itu terbagi menjadi 2 jalan. Untuk petualangan pertama, kami memilih jalan sebelah kanan. Gelap luar biasa, itulah yang kami temui di tempat ini. Kami terhenti saat pemandu menunjukkan keajaiban tempat ini. Ia mengarahkan senternya ke langit goa. Subhanallah, ratusan kelelawar langsung berterbangan. Di atas kepala kami saat ini adalah sarang ratusan kelelawar. Kali ini kelelawarnya lebih banyak dibanding saat di goa Simenteng. Memang dari awal masuk, bau kotoran kelelawar sudah berebut ingin menghangatkan diri di lubang hidung kami.
Masih penasaran dengan ujung jalan ini sekaligus ingin
melihat habitat kelelawar yang lebih spektakuler lagi, aku memberanikan diri
jalan di depan mendahului pemandu. Bukan
pemandangan bagus yang ku dapat, tapi zona zonk yang berisi ratusan bahkan
puluh ribuan kotoran kelelawar. Kaki kananku
terjebak dalam kolam kotoran kelelawar. Kotoran
tersebut merendam hingga mata kakiku. Karena
kaget dan hampir hilang keseimbangan, aku pun dengan spontan langsung memegang
dinding goa. Seperti habis jatuh tertimpa tangga, yang ku dapat adalah rasa licin di dinding goa. Saat ku arahkan senterku ke dinding, barulah
aku tahu bahwa aku sedang memegang kotoran kelelawar. Owh, unlucky.. Seharusnya aku mengambil pelajaran dari
perjalanan ke curug Nangka bahwa jalan di depan bukan pilihan yang bagus. Karena berada di barisan paling depan, akulah
yang diserang monyet saat itu. Tapi entah
mengapa, kakiku ini selalu berjalan lebih cepat dibanding yang lain, apalagi
kalau aku punya ketertarikan terhadap apa yang aku temui nanti.
Ku akhiri perjalanan menyusuri jalan itu karena memang sudah
tidak ada jalan lagi, itu adalah jalan buntu.
Setelah menghentak-hentakkan kakiku berharap kotoran-kotoran itu kabur,
perjalanan kami lanjutkan ke sisi sebelah kiri.
Sayangnya, tidak ada apa-apa di jalan ini. Jalan terlalu sempit untuk ditelusuri,
seperti yang tertulis di plang awal pintu masuk goa Simasigit.
Kami belum menyerah untuk mencari hal unik lain di goa
ini. Kami pun berjalan ke arah belakang
batu yang mirip sebuah mimbar. Jalannya
menanjak dan penuh batu tajam. Tapi belum
jauh kami berjalan, langkah kaki kami terhenti.
Terlihat 2 lorong sempit di ujung jalan itu. Lorong sebelah kiri terlalu sempt untuk
dilalui. Menurut pemandu, anggota
organisasi pecinta alam biasanya melewati lorong sebelah kanan. Tentu saja mereka disertai dengan seluruh
peralatan safety lengkap. Tapi entah mengapa kini, lorong sebelah kanan
itu makin menyempit. Itu artinya
perjalanan kami menelusuri goa ini berakhir di sini. Untuk mengobati rasa kecewaku tidak bisa
menyusuri lorong tersebut, aku pun mengabadikannya dengan kameraku. Setelah diamati, lorong tersebut tampak seperti
tengkorak manusia. Lagi-lagi, Tuhan
menunjukkan kebesaranNya.
Ketiga goa yang ada di objek wisata Goa Gudawang sudah selesai
kami jelajahi. Walaupun lokasinya jauh,
tidak ada penyesalan sedikit pun kami mengunjungi tempat ini. Rasanya benar-benar
puas. Goa adalah destinasi terbaik yang
pernah kami kunjungi. Kami berharap bisa
menelusuri goa lagi suatu saat nanti tentunya dengan pakaian yang lebih sesuai,
perlengkapan safety yang jauh lebih
memadai, dan anggota petualang yang lebih banyak. Sebagai ucapan terima kasih, kami memberi Rp
20.000 kepada Sang Pemandu (tidak diberi pun tidak apa-apa). Meski awalnya menolak, pemandu pun
menerimanya dengan senang hati.
Jam sudah menunjukkan pukul 16.30. Tukang ojek kami pun
sudah datang menjemput (Owh ya, karena tidak ada ojek di sekitar pintu masuk
Goa Gudawang, kami meminta tolong pada tukang ojek yang mengantar kami
sebelumnya untuk menjemput kami pukul 16.00).
Setelah membersihkan diri dari lumpur dan kotoran kelelawar, kami pun
pulang. Sebelum diantar ke jalan raya,
kami minta diturunkan di masjid yang paling dekat dengan jalan raya untuk
menunaikan ibadah sholat Ashar. Ketidakberuntunganku
yang kedua hari ini datang, aku harus terpeleset di masjid. Ok, bukan hanya lelah dan bau karena
perjalanan di goa tapi badanku kini harus sakit karena jatuh. Tidak masalah,
yang penting aku baik-baik saja.
Setelah sholat, kami beristirahat sejenak sambil mereview
pengalaman luar biasa kami barusan. Di masjid
yang kami tidak tahu namanya inilah kami membuat janji petualangan yang lebih
hebat. Menara Eiffle, semoga Tuhan
mengizinkan kami ke sana.
Komentar