Curug Nangka
Kebun Raya Bogor, Situ Gede, atau Curug Nangka….???
Hmm, cukup bingung menentukan destinasi kunjungan wisata akhir pekan ini. Setelah searching di mbah google dan membandingkan kelebihan dan kekurangan masing-masing akhirnya kunjungan hari sabtu 19 Juli 2014 diputuskan ke Curug Nangka.
Peserta jalan-jalan semakin sedikit saja. Kalau ditanya siapa orang kurang kerjaan yang
mau ke curug dalam kondisi berpuasa, jawabnya adalah “kami”, saya, Annisa, Mesem, dan Pipit. Agak nekat memang berkunjung ke curug tanpa
tahu jalan, tapi kami yakin kami pasti bisa.
Kami janji bertemu di BTM (Bogor Trade Mall) pukul 09.00 WIB. Alhasil, waktu ini ternyata molor. Dari stasiun Bogor, saya dan Pipit naik
angkot 02 (ongkos Rp 2.500) menuju BTM. Di BTM, Annisa dan Mesem sudah menunggu
sampai jamuran. Hehe..
Dari BTM kami langsung menuju curug Nangka dengan menaiki
angkot 03 jurusan Ciapus (bilang aja ke curug), ongkos Rp 5.000. Perjalanan ini
tidak sedekat yang kami kira. Kami melewati Empang, Muara, Ciapus, semakin
dekat ke arah gunung Salak, jalan semakin menanjak, untung saja jalannya bagus.
Di kanan kiri jalan menuju gunung Salak,
kami dapati banyak semak belukar dan kebun singkong, sudah berasa di Lampung
Tengah nie. Setelah kami perhatikan,
kami baru tahu kalau ternyata jalan ke curug ini satu arah dengan Kampung Wisata
Taman Sari dan Vihara yang katanya ada patung Budha tidur sepanjang 18 m. Dua lokasi wisata ini sempat ada dalam
penentuan lokasi wisata yang akan kami kunjungi.
Karena kami belum pernah ke curug Nangka sebelumnya dan kami
juga sama sekali tidak tahu daerah ini, kami bingung harus turun dimana. Tibalah angkot di sebuah pertigaan, kami agak
bingung. Tadinya berniat turun di sini tapi ragu hingga si angkot pun melanjutkan
perjalananya. Sampai di daerah agak berbelok, kami melihat ada tulisan curug
Luhur, barulah kami sadar kalau lokasi curug Nangka sudah terlewati. Si Supir angkot sempat merasa tidak enak karena ia kira kami berniat turun di curug Luhur (Memang baik supir angkot di Bogor).Akhirnya kami
memutuskan turun di jalan itu. Lokasi
ini sepertinya sudah di kaki gunung Salak, udaranya terasa agak sejuk. Kami pun berjalan kaki menuju pertigaan awal
tadi. Benar sekali, memang seharusnya
kami turun di pertigaan itu. Ada plang
bertuliskan “Curug Nangka 1 km” di pertigaan, tetapi kurang terlihat kalau dari
jalan angkot tadi. Karena hanya 1 km,
kami memutuskan untuk berjalan kaki. Setahu
kami 1 km bukan jarak tempuh yang jauh.
Entah karena puasa atau memang tulisan di plang itu tidak tepat, jarak 1
km terasa begitu jauh. Tetapi kami tetap semangat. Kanan kiri jalan
kami dapat melihat banyaknya villa cantik yang dibangun beserta beberapa warung
yang sepertinya baru selesai dibangun.
Setelah berjalan kurang lebih 7 menit, akhirnya kami sampai di gerbang curug Nangka.. Di gerbang ini kami diminta membayar tiket masuk seharga Rp 7.500 (katanya untuk retribusi daerah).
Petugas menjelaskan bahwa nanti akan ada gerbang dan pembayaran tiket masuk lagi untuk retribusi ke Taman Nasional Halimun Salak. Curug Nangka memang masih menjadi bagian dari Taman Nasional Halimun Salak. Kami pun berjalan masuk dan benar ada sebuah gerbang lagi. Di samping gerbang ada banner besar bertuliskan tarif resmi masuk curug Nangka. Kami pengunjung biasa perseorangan dikenai tarif Rp 5.000. Namun petugas minta Rp 7.500 kepada kami, katanya yang Rp 2.500 untuk peta ke curug Nangka. Tentu saja kami tidak mau. Kami bersikukuh hanya akan membayar Rp 5.000, tidak usah pakai peta tidak apa-apa. Petugas pun mengiyakan.
Luar biasa indah alam ciptaan Tuhan ini. Di kanan kiri jalan menuju curug Nangka, kami
dikawal oleh barisan hutan pinus. Bahkan
si Annisa nyeletuk, ini seperti syuting Twilight. Hutan pinusnya cantik sekali.
Setelah berjalan kira-kira 50 m dari gerbang depan tadi, kami agak bingung kemana jalan menuju curug Nangka, lurus saja atau berbelok. Jika hanya mengandalkan suara desiran air rasanya bisa saja kami tersesat. Akhirnya si Mesem meminta 1 peta lokasi curug Nangka ke petugas dan berniat membayar Rp2.500 untuk peta tersebut. Tapi ternyata kami dikasih gratis (atau memang sebenarnya peta itu gratis).
Sesuai peta, kami pun berjalan lurus dan sampai di sebuah lokasi yang bernama Warung Wisata dan Parkir (begitulah yang tertulis di peta). Karena puasa, hanya sedikit warung yang buka. Lokasi ini pun menurut kami tidak mencerminkan lokasi parker, karena tidak ada 1 pun kendaraan yang parker kecuali kendaraan di pemilik warung. Bisa diduga, pasti di dalam sepi sekali.
Kami pun melanjutkan perjalanan. Berdasarkan peta, lokasi yang akan kami temui selanjutnya adalah Mushola dan MCK. Ya benar sekali, setelah melewati jembatan yang tidak panjang kami menemui Mushola. Tadinya kami berniat ke lokasi curug setelah sholat Zuhur tapi ternyata jam masih menunjukkan pukul 11.15. Akhirnya perjalanan ke curug kami lanjutkan. Masih dengan kawalan pohon-pohon pinus, kami tak henti memanjatkan kekaguman pada sang Pencipta. Sayangnya di lokasi ini banyak ditemui bangunan nonpermanen yang sepertinya merupakan warung kalau di hari biasa. Bangunan ini mengurangi estetika keindahan hutan pinus yang alami. Mohon maaf, ini pendapat pribadiku.
Setelah puas berfoto ria, kami pun melanjutkan perjalanan ke curug berikutnya. Menurut info dari mbah google sebelumnya, di lokasi ini terdapat 2 curug lain selain curug Nangka, yaitu curug Daun dan curug Kawung. Kami kembali menyusuri sungai tempat kami datang tadi. Kali ini barulah kami bertemu dengan anak-anak yang sedang bremain di sungai, sepertinya rumah anak-anak ini tidak jauh dari lokasi curug. Kali ini kami menaiki jalan setapak yang menanjak. Sebelumnya dari tepi teping atas, kami menyaksikan keindahan curug Nangka yang ternyata diwarnai dengan sosok pelangi di bawahnya. Luar biasa, ini pertama kalinya kami melihat pelangi tepat secara langsung ada di bawah curug.
Perjalanan menuju curug Daun dari curug Nangka tidak terlalu jauh. Tapi cukup membuat energi kami menguap juga lantaran jalannya yang menanjak. Curug Daun tidak setinggi curug Nangka, hanya saja airnya lebih lebar. Di curug ini kami melihat ada beberapa pekerja sedang membangun WC umum sepertinya. Kami pun melintasi batu-batu untuk menuju curug Daun lebih dekat lagi. Batuan di curug Daun terlihat lebih indah dibanding curug Nangka. Kalau untuk mandi, curug Daun adalah lokasi yang tepat. Tapi dari awal kami memang tidak berniat untuk itu. Seperti biasa, aktivitas kami di curug ini pun sama yaitu berfoto ria. Di curug ini kami juga bertemu sepasang muda mudi (umurnya pasti lebih tua dari kami) sedang berfoto juga. Tapi mereka sedikit ekstrim, mereka menceburkan diri di air curug. Lalu si Annisa mendadak jadi fotografer yang memfoto mereka.
Kami lanjut berjalan ke atas curug dimana batu-batu besar banyak dijumpai. Terlihat sekali wajah para perempuan tangguh ini mulai lelah. Ok, saatnya istirahat. Setelah mengambil air wudhu di aliran curug Daun, kami pun sholat di salah satu batu besar. Awalnya kami sempat bingung mana arah kiblatnya karena kami tidak membawa kompas. Tapi si Pipit mengeluarkan ide cerdasnya, yaitu dengan melihat kompas pada peta yang diberikan petugas di gerbang tadinya. Arah kiblat pun kini mudah ditentukan.
Tujuan berikutnya adalah curug Kawung. Sempat terjadi perdebatan kami akan
mengunjungi curug ini atau tidak karena tenaga sepertinya sudah low. Lagipula tidak terlihat lagi ada jalan
setapak menuju curug seperti jalan setapak menuju curug Daun tadi. Tapi aku tetap bersikeras ingin ke curug
paling atas yang ada di peta ini. Akhirnya
mereka mengiyakan setelah melihat 3 orang (2 wanita berhak tinggi dan 1 pria)
menelusuri sungai menuju curug Kawung. Agak
sedikit heran, di lokasi seperti ini kenapa ada orang yang menggunakan sepatu hak
tinggi. Tapi sudahlah, mungkin dia sudah
terbiasa.
Kami pun ikut menyusuri sungai. Semakin berjalan ke depan,
semakin terasa kesan hutan belantara di lokasi ini. Monyet pun bergantungan dari satu ranting ke
ranting lain seakan menyambut kami. Setelah
melewati sungai, barulah ada jalan setapak yang menanjak. Pengaturan nafas yang kurang baik membuat
kami sedikit kewalahan tapi semangat menuntun kami untuk tetap melewati halangan apapun di
depan.
Sampai di lokasi yang kami kira tidak jauh lagi dari curug Kawung, kami bertemu 3 orang tadi. Dua orang perempuan sempat mengingatkan kami bahaya aka nada monyet di depan. Tapi kami tidak khawatirkan hal itu karena setahu kami binatang liar takut pada manusia. Lagipula menurut peta, kami akan bertemu dengan Pos Pemantauan. Kami pun tetap dengan mantap berjalan ke atas. Kira-kira 3 m dari tempat yang kami duga merupakan Pos Pemantauan, kami melihat sesosok monyet sedang bertarung (agak alay) dengan laki-laki yang masuk rombongan 3 orang tadi. Kami hanya diam terpana. Tetapi si monyet kemudian melihat ke arah kami, lalu turun menghampiri kami. Aku yang berada di posisi paling depan hanya diam karena mengira si Monyet akan numpang lewat saja. Tapi ternyata aku salah. Monyet itu menyerangku dan menarik-narik tasku. Kami sangat bingung, kami sedang berpuasa dan tidak membawa makanan apapun saat itu. Apa yang harus kami lakukan. Panik luar bisa menyambar seluruh pikiran kami. Terlintas di benakku akan kejadian beberapa tahun yang lalu saat adikku Fia harus dibawa ke rumah sakit akibat cakaran monyet. Ia bahkan harus menerima suntikan rabies gara-gara cakaran yang tidak seberapa itu. Meski sudah disuntuk rabies, tangannya bekas cakaran monyet itu masih saja mengeluarkan nanah dan beberapa minggu barulah dia sehat kembali. Sempat terpikir akan melepas tas yang ditarik oleh monyet tersebut tapi jika ingat isi ta situ adalah dompet (dengan segala uang, kartu ATM, dan kartu identitas diri) dan kamera, aku langsung membuang jauh-jauh pikiran itu. Aku pun jadi tarik-tarikan tas dengan si Monyet. Sudah lelah tarik-tarikan dan menyadari tidak ada makanan di tasku, si Monyet menyerah dan melepaskanku. Aku pun langsung lari ke atas, ke arah Pos Pemantauan. Sementara Pipit, Mesem, dan Annisa tetap di bawah bersama sang Monyet.
Terlihat curug Kawung dari atas sini, hanya tinggal turun
beberapa meter curug Kawung sudah akan kami jumpai. Sayang sekali, sepertinya aliran air curug
Kawung kali ini tidak begitu deras. Jadi meski lebih tinggi dari curug Nangka,
deru air tidak sekeras curug Nangka.
Belum sempat memfoto, si Monyet kembali mencuri perhatian. Ia kembali ke atas dan aku pun bergegas lari kembali
ke bawah menghampiri teman-temanku. Kami
pun berjalan secepat mungkin untuk menghindari kejaran monyet. Jantungku yang masih berdetak sangat kencang akibat
serangan monyet tadi serasa seirama dengan cepatnya langkah kakiku menuruni
anak tangga. Menurut laki-laki tadi,
semakin sore akan semakin banyak monyet yang turun. Tentu saja ini semakin membuat kami bergegas
turun sebelum kejadian yang lebih buruk menimpa. Kami lelah bukan main.
Akhirnya kami pun beristirahat di tempat yang kami rasa aman dari
gangguan monyet. Kami sempat duduk dan
berfoto dulu di lokasi ini.
Setelah energi dirasa cukup, kami melanjutkan perjalanan menuruni gunung. Sedikit trauma dengan yang baru saja dialami, aku tidak lagi jalan di depan seperti pada perjalanan awal tadi. Sampai di jalur dimana kami harus menyebrangi sungai, lagi-lagi kami dihadang seekor monyet yang sedang bergelantungan di dahan pohon. Kami pun berhenti, menunggu sejenak sampai monyet itu pergi. Tetapi si Monyet yang kali ini ukurannya lebih kecil dari yang di atas tadi, tidak kunjung pergi. Kami pun berjalan secepat yang kami bisa untuk melintasi sungai ini. Sampai di kawasan yang dipenuhi hutan pinus, kami beristirahat sejenak melepas lelah dan tawa. Serangan monyet tentu menjadi topik hangat kami. Bagaimana mungkin Pos Pemantauan dijaga oleh seekor Monyet, begitulah canda kami. Pengalaman ini menjadi sesuatu baru yang terasa melelahkan sekaligus sangat menyenangkan bagi kami. Hm, ternyata benar semakin sore akan semakin banyak monyet yang turun. Lumayan jauh dari kami berada, tampak rombongan monyet sedang duduk di sebuah area lapangan luas, entah apa yang sedang mereka lakukan.
Perjalanan kami mengunjungi curug Nangka dkk berakhir di
sini. Kami kembali berjalan kaki menuju
gerbang utama dengan kawalan si cantik pohon Pinus. Perjalanan kali ini benar-benar menjadi
sesuatu baru yang luar biasa. Suatu perjalanan
harus memiliki manfaat bagi pelakunya. Keindahan
alam kaki gunung Salak ini menyadarkan kami betapa besarnya kuasa Tuhan, sang
Maha Pencipta. Perjalanan hari ini patut disyukuri, dengan semua yang terjadi kami pulang dengan senang dan selamat. Akhir cerita, kami buka puasa bersama di salah satu tempat makan di BTM. Hari ini luar biasa menyenangkan.
Komentar