Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku
1 Juni 2016 23.45 WIB, kami diberangkatkan
ke daerah penempatan, Maluku Barat Daya. Hm, ini penerbangan pertama ku.
Rasanya biasa saja ternyata, hanya saja aku semakin kagum dengan kuasa Tuhan,
berada di atas awan itu indah yaa. Awan terlihat seperti kapas yang
berterbangan bebas, persis seperti yang digambarkan Negeri di Atas Awan film
Doraemon.
Kami mendarat di bandara Mathilda, Maluku
Tenggara Barat tanggal 2 Juni 2016, 10.00 WIT. Tidak ku sangka ada penyambutan
begitu hangat dari perwakilan PM X MTB. Ucapan selamat datang sejenak
meluluhkan lelahnya pundak yang menggendong carrier. Lalu siang itu seharusnya
kami langsung berlayar menuju Tiakur, ibu kota Kab. Maluku Barat Daya. Tetapi
karena beberapa alasan, pelayaran kami ditunda hingga hari minggu. Dari sinilah
perjalanan singgah kami di MTB dimulai. Hingga tulisan ini diupload, aku rasa
dari 6 tim yang diberangkatkan, hanya tim MBD yang belum mencapai kabupaten.
Malam pertama di Saumlaki, jutaan bintang
menampakkan dirinya dengan sangat sempurna, mengingatkanku pada galaksi yang
biasa aku lihat di rumah saat listrik mati. Kita masih berada pada satu langit
yang sama memang. Malam itu, bau bakaran ikan kakap merah sebesar lengan orang
dewasa serasa menari-nari di hidungku. Aku tidak pandai berkata- kata untuk
menggambarkan betapa lezatnya makan malam kami saat itu, pokoknya enak deh.
Wajib coba sendiri karena kita orang Indonesia, orang Maritim katanya.
Jumat, 3 Juni 2016, kami mengisi waktu di
MTB dengan berkenalan ke beberapa stakeholder, seperti Kodim & Polres (yang
juga membawahi MBD), beberapa relawan KI (Kelas Inspirasi), dan ketua pokja GTM
(Gerakan Tanimbar Mengajar). Di sini aku menyadari bahwa banyak yang peduli
pada pendidikan Indonesia. Mereka hanya perlu dipertemukan & dihubungkan
satu sama lain untuk bersama berhenti mengutuk kegelapan & menyalakan lilin
demi terangnya pendidikan Indonesia.
Di Indonesia mengajar, setiap detiknya
adalah pelajaran berharga bagiku. Mulai dari pengelolaan ekspektasi hingga
penurunan standar kebahagiaan serendah2nya. Kelola ekspektasi, just do the
best, don't think too hard, never compare it with others. Di Indonesia Mengajar
pula aku menyadari bahwa ketiadaan angkot atau ojek bukan alasan untuk berhenti
mobile. Menumpang mobil pick up pembawa sampah restoran sekali pun bisa membawa
kesenangan tersendiri. Hey, bahagia itu sederhana, Kawan. Tetap tertawa &
bersyukur di setiap situasi, itu bahagia.
Terima kasih mendalam kepada,
Tuhan YME, atas segala kuasaNya menciptakan
orang2 baik di sekelilingku.
Kak Fai, Galuhers yang sabar mendampingi ke
kabupaten.
PM X MTB, yang telah menyambut, memberi
tumpangan hidup, menginspirasi, dan mengenalkan ke stakeholder2 hebat.
Teman2 Kodim, Polres, relawan KI & GTM,
yang telah menginspirasi.
Bapak "pick up", yang telah
memberi tumpangan.
Ibu "warung", yang mengenalkan
porsi gunung Tanimbar.
Bapak "BRI", yang mengajarkan
beberapa kosa kata Maluku dan mengenalkan sopi.
Teman2 se-Tim MBD, yang selalu ceria.
-Ditulis dalam penantian menujuMBD-
Komentar