Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku
Meski masih di Indonesia, ternyata kami
berada di belahan bumi yang berbeda. Waktu di sini lebih cepat 2 jam dari
tempat asalku di Lampung. Kenyataan ini membuatku sering roaming waktu, pukul
24.00 pun rasanya masih pukul 22.00, tidak ada rasa kantuk sama sekali. Bukan hanya
soal waktu, aku pun masih sering lola (loading lama) jika bicara dengan orang
asli Maluku. Untungnya kami bertemu Malaikat Bahasa, Bu Robert Toby, satpam BRI
yang terletak di depan penginapan kami. Bu Obet, begitu sapaan akrab kami
dengannya sering mengajari kami beberapa kosa kata bahasa Maluku. Aku coba
menemukan fotonya, tapi tidak dapat.
Kata pertama yang aku pelajari adalah “seng”
yang artinya “tidak”. Berikut kata-kata lain yang aku ingat untuk ditulis.
Beta
|
:
|
Saya (bet: saya “nonformal)
|
Ale
|
:
|
kamu (sopan/formal); ose: kamu
(nonformal)
|
Katong
|
:
|
kita
|
Kamong
|
:
|
kalian
|
Ongtua/ontua/antua
|
:
|
beliau
|
Maitua
|
:
|
istri
|
Paitua
|
:
|
suami
|
Bu
|
:
|
panggilan untuk laki-laki dewasa (mas/abang)
|
Ussy
|
:
|
panggilan untuk perempuan dewasa (mbak)
|
Oto
|
:
|
sebutan untuk angkot. Ukurannya sedikit
lebih besar dari angkot di Lampung. Kursinya empuk dan di bagian atas ada
pegangan panjang. Yang unik dari oto adalah musiknya. Musik dalam oto sangat
kencang. Sebelum tahu itu oto, aku kira ada sound system berjalan. Entah
lelucon atau sungguhan, katanya ada kontes sound oto ter-ok di Saumlaki ini.
Penilaiannya mudah, masukkan babi ke dalam oto, nyalakan sound, kalau babi
mati berarti sound nya sangat ok. Oto itulah pemenangnya.
|
Ikang
|
:
|
ikan
|
Makang
|
:
|
makan
|
Baku dapa
|
:
|
bertemu (baku: saling)
|
Su
|
:
|
sudah
|
Danke
|
:
|
terima kasih
|
Par
|
:
|
untuk
|
ka
|
:
|
atau
|
lai
|
:
|
lagi
|
paniki
|
:
|
kelelawar
|
Belajar bahasa ternyata mudah. Hanya butuh
1-2 bulan aku di Maluku, rasanya sudah lancar bicara bahasa sana. Tentunya ini
karena tingginya intensitas interaksi dengan orang lokal. Senang rasanya
belajar bahasa baru dan yang membuatku kagum adalah tingginya penghargaan orang
sini atas bahasanya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penggemar lagu-lagu
lokal Ambon. Di sini, lagu Ambon jauh lebih terkenal dari lagu diva-diva top
Indonesia. Bahkan waktu awal datang, aku benar-benar merasa seperti bukan di
Indonesia, karena tidak ada satu pun lagu yang mereka putar yang aku tahu
maksudnya. Semua terasa asing di telinga. Aku tersadar ini masih di Indonesia saat ku dengar seseorang memutar lagu Ariel "Peterpan" di kapal, yang liriknya "kaki di kepala, kepala di kaki . . ." Lagu lama memang, tapi terima kasih karena telah memperdengarkan bahasa Indonesia yang umum aku dengar.
Namun, kini aku bahkan merindukan lagu-lagu Ambon. "Pusing lai, pusing lai, seng ada yang polo. Yang dipolo su jadi orang pung bantal polo. Lebe baek, lebe baek, bet sendiri dolo daripada terus terluka . . ." Lagu ter-nghits di zaman itu.
Komentar