Langsung ke konten utama

Postingan Terbaru

Berkunjung ke Desa Adat Baduy Dalam

Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku

Backpacker Lampung-Yogyakarta

Part 1


“Mau kemana setelah selesai?” Hal itu pasti jadi pertanyaan paling meyebalkan bagi mahasiswa yang sedang menunggu wisuda, termasuk aku.  Aku sendiri masih bingung mau kemana dan hanya tertawa setiap kali pertanyaan itu muncul.  Pastilah ada 2 pilihan, kerja atau lanjut S2.  Sebagai anak sulung dari dua bersaudara, aku ingin kerja, setidaknya berterima kasih kepada orang tua dengan cara menyekolahkan adik.  Sudah janjiku sejak awal (pada diri sendiri sih), untuk menyekolahkan adik kemana pun dia mau, tanpa memikirkan biaya seperti aku dulu.  Aku tidak ingin rencana manisnya kandas hanya karena keterbatasan uang.  Lanjut S2, itu keinginan pribadi sebagai bentuk sikap egoisku mungkin.  Banyak orang bilang lanjut S2 adalah pelarian karena bingung akan kemana setelah S1.  Sebenarnya aku tidak sependapat dengan hal itu.  S2 bagiku mutlak keinginan bukan pelarian.  Walaupun aku juga belum tahu akan kemana setelah S2.  Masalah yang muncul jika ingin S2 tentu biaya.  Solusinya sudah ada, beasiswa.  S1 pun aku tuntaskan dengan bantuan beasiswa Bidikmisi (terima kasih Bidikmisi), apalagi S2.  Masalah yang muncul setelah itu pastinya TOEFL.  Skor TOEFL yang rendah bahkan memalukan itu perlu upgrade tingkat dewa.

Aku pernah baca sebuah buku (lupa judul dan penulisnya), katanya otak kita akan berpikir jernih dan mengeluarkan ide-ide cemerlang ketika berada dalam kondisi rileks.  Dari sinilah aku putuskan untuk refreshing.  Refresing ke luar Lampung dan backpacker menjadi pilihan utama.  Lagipula backpacker memang menjadi salah satu hal yang ingin aku dicoba sebelum resmi keluar dari Universitas Lampung.  Aku harap aku menemukan sesuatu yang bisa menuntunku pada keputusan yang benar dan bijak antara kerja dan lanjut S2.

Yogyakarta menjadi daerah tujuan karena menurut informasi dari beberapa blog, Yogyakarta itu surganya backpacker dan tempat yang cocok untuk backpacker pemula.  Awalnya rencana backpacker ini akan dijalani 3 orang, tetapi karena satu orang sudah menjadi karyawan salah satu perusahaan Kopi liburan pun sulit didapatkan.  Meskipun kini hanya berdua, backpacker harus tetap dilaksanakan, besar harapanku untuk itu.  Setelah melalui pemikiran panjang akhirnya keberangkatan diputuskan tanggal 06 November 2015.  Perjalanan akan dilakukan dengan mengeteng.  Hal ini mengingat kemampuan finansial kami yang masih rendah. Budget kami untuk perjalanan seminggu ke Yogya adalah Rp 700.000, terbilang sangat nekat.

Tiket kereta api Pasar Senen-Lempuyangan kami pesan secara online untuk tanggal 07 November 2015.  Karena ini pertama kalinya aku memesan tiket kereta api online, aku tidak tahu kalau pembayaran harus dilakukan hari itu juga.  Malas ke ATM hari itu membuat kami kehiilangan reservasi tiket dan harus reservasi ulang.  Sayangnya tiket tanggal 07 November 2015 untuk tiket termurah sudah habis.  Tiket kereta api termurah (Kereta Progo Rp 75.000) yang bisa dibooking tersedia di hari senin 09 November 2015.  Sudah diputuskan, kami berangkat minggu 08 November 2015 pukul 21.00 WIB dari terminal Rajabasa menuju pelabuhan Bakauheni dengan bus AC (Rp 30.000).

Pukul 23.58 WIB kami sampai di pelabuhan Bakauheni.  Agak surprise bagiku ketika sampai di loket tiket pelabuhan Bakauheni.  Jauh berbeda dengan saat terakhir kali aku ke sini.  Tempat pembelian tiket kini terasa lebih modern.  Sayang sistem electronic card belum berfungsi sebagaimana mestinya.  Tiket berupa electronic card (Rp 14.500) yang seharusnya ditap di mesin masuk hanya diberikan kepada petugas yang menunggu di sana.  

 
Hanya 30 menit dari kami masuk kapal, kapal pun berangkat.  Kapal kami berlabuh di pelabuhan Merak pukul 03.20 WIB.  Kami istirahat sejenak sambil menunggu waktu sholat.  Teras masjid sudah seperti tempat tidur umum, banyak orang terbaring nyenyak di sana.  Menjelang adzan Subuh, aktivitas di pelabuhan semakin ramai.  Pedagang mulai menjajakan makanan.



Usai sholat Subuh, kami bergegas mencari stasiun Merak berbekal informasi beberapa orang yang kami temui di Mushola.  Yang aku tahu kereta api berangkat pukul 05.30 atau 06.00 WIB.  Setiap menemukan jalan  bercabang, kami selalu bertanya.  Dalam kondisi seperti ini, Jangan Malu Bertanya! Malu bertanya, sesat di jalan.  Tentu kami tidak mau tertinggal kereta hanya karena tersesat di pelabuhan.  Untungnya kereta Patas Merak yang kami incar belum berangkat, loket tiketnya belum buka bahkan -_- 


Kereta Patas Merak berangkat pukul 05.58 WIB, sangat tepat waktu.  Dengan harga tiket Rp 8.000, aku rasa kereta ini cukup nyaman, kereta ekonomi dengan AC.  Kereta ini berhenti hampir di setiap stasiun yang dilewati.  Setiap berhenti di sebuah stasiun, kereta ini menambahkan cukup banyak penumpang hingga dalam kereta penuh sesak.  Lama kelamaan AC kereta tidak lagi terasa.  Kami bertemu orang unik di kereta ini.  Pertama, orang yang juga satu kapal dengan kami, 2 orang laki-laki yang sangat ramah.  Banyak bantuan yang mereka tawarkan tapi kami sepintar mungkin menolak dengan halus.  Harus waspada tingkat dewa, pikirku.  Bukan bermaksud curiga, tapi kami 2 perempuan yang melakukan perjalanan mandiri tentu akan berisiko terlalu percaya dengan orang asing.  Tapi sampai akhir perpisahan kami dengan mereka, mereka tidak melakukan hal-hal aneh.  Mereka benar orang baik sepertinya.  Kedua, perempuan tomboy yang duduk di samping kiri ku saat di kereta.  Setiap kali bertanya dengannya, dia akan menjawab dengan volume speaker tingkat tinggi.  Aku rasa satu kereta dengar apa yang ia katakan.  Tapi bodohnya, aku tidak mengerti apa yang dia katakan.  Aku putuskan untuk meminimalisir pembicaraan dengannya.  Ketiga, perempuan yang duduk di samping kanan ku.  Perempuan yang usia terpaut jauh denganku ini (tapi masih tergolong muda) masuk dari stasiun yang aku lupa apa namanya.  Ia berasal dari Gedung Tataan, Lampung juga, jadi nyambung deh ngobrolnya.  Ia lulusan Sastra Inggris, Teknokrat dan kini bekerja sebagai wartawan di Bali Post  Agak surprise ketika berbicara dengannya, ia tiba-tiba membicarakan tentang teman satu kosannya yang sangat senang dapat meraih beasiswa BPI dari LPDP dan kegalauannya yang menyesal kenapa dulu tidak terpikir untuk S2.  Sedangkan kini untuk S2 pertimbangannya semakin banyak.  Dari caranya bicara, sangat terlihat ia sedang bimbang.  Pesan yang tersirat dari dirinya menurut pendapat pribadiku adalah jika ingin S2 sekarang, S2 lah.  Percakapan kami berakhir saat kereta sudah penuh sesak, hawanya sudah tidak nyaman lagi untuk mengobrol.  Perempuan itu turun di stasiun yang sama dengan kami, stasiun Palmerah, Jakarta.  Kami berpisah dengannya di sana tanpa sempat saling bertanya nama.  Waktu masih menunjukkan pukul 10.35 WIB.  Kereta yang kami pesan menuju Yogyakarta berangkat pukul 22.30 WIB dari stasiun Pasar Senen.  Masih ada banyak waktu untuk keliling Jakarta.

Monas menjadi tujuan tempat singgah kami karena lokasinya yang dekat dengan stasiun.   Untuk menuju stasiun Juanda tempat Monas berada kami harus naik Commuter Line tujuan Tanah Abang lalu lanjut ke stasiun Manggarai dan berhenti di stasiun Juanda.  Ide bulus nan kotor pun muncul dari otak kami.  Apa jadinya kalau kami ke Juanda tanpa membeli tiket.  Ide kotor ini seakan diamini.  Tidak lama setelah kami diskusi, Commuter Line tujuan Tanah Abang memasuki stasiun Palmerah.  Kami langsung saja masuk.  Sebenarnya di otakku sudah terlintas ratusan masalah yang akan kami dapati dengan tindakan konyol itu.  Mulai dari diturunkan di tengah jalan, tidak bisa keluar stasiun karena tidak punya e-ticket, sampai denda berkali kali lipat dari harga tiket karena mencoba berbuat curang.  Tapi temanku punya ribuan solusi atas kekhawatiran itu.  Memang tidak tahan berbuat jahat, kami pun melaporkan diri sendiri ke petugas di stasiun Manggarai.  Dengan muka memelas, sok polos, dan berbagai alasan untuk berkilah tetapi petugas muda itu tetap tidak mau tahu.  Ia memberi kami dua pilihan, kembali ke stasiun Palmerah dan beli e-ticket menuju stasiun Juanda atau denda Rp 50.000 lalu melanjutkan perjalanan ke Stasiun Juanda.  Panas dan lelah rasanya, kami memilih kembali ke stasiun Palmerah.  Saat itu jam sudah menunjukkan pukul 14.35 WIB.  Belum makan siang dan tidak minum dari pagi tadi, kini aku menyerah.  Tidak ada lagi jalan-jalan ke Monas.  Setelah makan dan sholat Ashar, kami langsung ke stasiun Pasar Senen menunggu kereta ke Lempuyangan.


Penantian Commuter Line yang cukup lama membuat kami sampai di stasiun Pasar Senen saat adzan Isya.  Menikmati mie instan di tengah keramaian Pasar Senen memberi sensasi tersendiri.  Sambil menunggu inilah kami mulai menghubungi teman-teman yang ada atau punya kenalan di Yogya.  Walaupun tidak mendapatkan penginapan gratis, dibantu cari penginapan murah saja sudah sangat terima kasih.  Meskipun sudah ada 20 list penginapan yang aku catat dari internet, tetap saja rekomendasi teman akan jadi prioritas nomor satu.
Pukul 21.30 WIB loket dibuka, antrian sudah mengular sangat panjang.  Melihatnya saja aku lelah.  Hal ini membuat kami mengurungkan niat ikut mengantri walau KTP dan bukti pembayaran sudah kami cetak.  Pukul 22.00 WIB antrian mulai berkurang, barulah kami ikut mengantri.  Awalnya aku agak heran, aku perhatikan seluruh orang yang mengantri bersama kami membawa tiket yang sudah dicetak bukan print out bukti pembayaran seperti kami.  Temanku meyakinkan bahwa ia biasa pesan online tiket pesawat dan hanya menunjukkan softcopy saja bisa apalagi kami yang saat ini sudah membawa print out.  Aku pun mengiyakan dan mengabaikan kekhawatiranku tadi.  Saat kami sampai pada petugas tiket, petugas memarahi kami karena belum mencetak tiket.  Kami berdua hanya bengong karena bingung.  Akhirnya sang Petugas menjelaskan bahwa tiket harus dicetak di mesin CTM (Cetak Tiket Mandiri).  Masih ada waktu 15 menit sebelum kereta berangkat dan kami keliling stasiun, tanya orang sana sini untuk mencari lokasi CTM.  Ternyata CTM berada di sebelah selatan, samping mesin ATM.  Jika saja tidak panik, pasti mudah menemukan lokasinya karena sebenarnya ada petunjuk jalan di sana.  Kami sadari itu setelah selesai mencetak tiket.  Tidak perlu waktu lama untuk cetak tiket, tinggal masukkan kode booking, lalu enter dan tiket pun tercetak.  Kami lari menuju antrian tadi.  Hanya tinggal beberapa butir orang yang mengantri.  Akhirnya kami masuk kereta api hanya kurang dari 5 menit sebelum kereta berangkat.  Sesuai yang tertera di tiket, kereta berangkat pukul 22.30 WIB.  Terima kasih masih diberi kesempatan untuk ke Yogyakarta.  Jika saja benar kami ketinggalan kereta, tidak terbayang rasanya kehilangan uang Rp 75.000 padahal menunggunya sudah seharian full melelahkan.
 

Bersambung ke Part 2 


Komentar

June mengatakan…
Mba mau tanya dong, saya pemula yg mau backpack ke Jogja juga. Minta alur simpel untuk perjalanan ke Jogja nya dong mba

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS VEGETASI

ANALISIS VEGETASI (Laporan Praktikum Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma) Oleh Kelompok 7 Desna Herawati Diki Apriadi Dwi Safitri Habiba Nurul Istiqomah Heru Dwi Purnomo JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

Laporan Kemiringan Lereng

I.                    PENDAHULUAN 1.1               Latar Belakang Topografi merupakan bentuk permukan bumi dipandang dari kemiringan lereng dan beda tinggi dari permukaan laut.   Permukaan tanah dengan beda tinggi dan kemiringan yang sangat besar, maka disebut topografinya bergunung, sedangkan untuk beda tinggi dan kemiringan yang lebih rendah secara berurutan disebut berbukit, bergelombang, dan berombak.   Ilmu yang membahas tentang topgrafi ini disebut geomorfologi.   Dua unsur topografi yang banyak dibahas dan besar pengaruhnya terhadap erosi adalah panjang lereng ( length ,) dan kemiringan lereng ( slope ). Bentuk lereng tergantung pada proses erosi, gerakan tanah, dan pelapukan.   Sedangkan, kemiringan lereng terjadi akibat perubahan permukaan bumi di berbagai tempat yang disebabakan oleh daya-daya eksogen dan gaya-gaya endogen.   Hal inilah yang mengakibatkan perbedaan letak ketinggian titik-titik diatas permukaan bumi. Kemiringan lereng terjadi akibat

Perombakan Bahan Organik dan Siklus Nitrogen

A.     PEROMBAKAN BAHAN ORGANIK 1.         Sumber Bahan Organik Bahan organik berasal dari sisa-sisa hewan, serasah tumbuhan, dan limbah pertanian. Semua sumber bahan organik mengandung air, bahan mineral (abu), dan senyawa organik. Kandungan air adalah 20%-90% dari berat basah tanaman. Kandungan ini dipengaruhi oleh organ tanaman yang diambil dan umur tanaman tersebut. Kandungan air pada daun akan jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan air pada akar tanaman. Bahan mineral (abu) meliputi K, Ca, Mg, Na, P, S serta unsur mikro kurang lebih 1%-10% berat kering. Senyawa organik menyusun <50% berat segar tanaman. Kandungan senyawa organik ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan debu (Sutanto, 2005). Sutanto (2005) dalam bukunya menyebutkan bahwa senyawa organik dibedakan atas: §      Karbohidrat, yaitu gula dan pati (mengandung sel), pektin, hemiselulosa, selulosa (dinding sel). Karbohidrat merupakan penyusun senyawa organik terbesar penyusun bahan organik (>