Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku
Syarat pembuatan SKCK Lampung Timur
1.
Surat pengantar dari kelurahan, kecamatan,
koramil, dan Polsek sesuai domisili dan photocopy
nya 2 rangkap
2.
Photocopy
Kartu Keluarga (KK) legalisir 2 rangkap
3.
Photocopy
KTP legalisir 2 rangkap
4.
Pas photo
4x6 dan 3x4 masing-masing 4 lembar
5.
Map 2 rangkap
Di tulisan ini akan aku ceritakan pengalamanku membuat SKCK
pertama kali. Awalnya banyak pihak yang bilang, lebih baik nembak aja daripada buat sendiri, udah capek, buatnya seharian,
habis banyak uang lagi. Setelah tanya teman yang sudah buat dengan sistem tembak, tenyata dia membayar Rp 150.000.
(Ow iya, buat yang gak tau istilah
tembak, tembak merupakan istilah yang lazim digunakan untuk menyebut sistem
pembuatan surat-surat dengan cara praktis, kasarnya sih mengurangi persyaratan
pembuatan dengan menyogok petugas kepolisian. Temanku yang membuat SKCK dengan
tembak hanya menyiapkan photocopy KK, KTP, dan pas photo). Beberapa orang
berpendapat bahwa meminta surat pengantar itu merepotkan. Alasannya, karena
harus membayar minimal Rp 20.000 ke setiap petugas. Benarkah begitu? Rasa
penasaran membawaku untuk mencobanya sendiri.
1.
Pembuatan surat pengantar dari kelurahan,
kecamatan, koramil, dan Polsek sesuai domisili
Pada tahapan ini, orang tua ku memberitahu untuk menyiapkan
lima amplop yang masing-masing diisi uang Rp 20.000 dan memintaku bertanya pada
petugasnya “Berapa biaya administrasinya?” (sepertinya ini sudah budaya di
kampungku, sopannya begitu katanya). Setelah berdebat panjang akhirnya aku pun
menurut.
Pertama aku pergi ke kelurahan menemui sekretaris desa. Di
sini aku diminta menunjukkan KTP lalu sekretaris desa akan mengisi biodataku
pada surat pengantar. Setelah proses selesai aku pun bertanya seperti pesan
orang tuaku, “Berapa biaya administrasinya?”. Sekretaris desa menjawab, bawa
aja (sebenarnya sekretaris desa ini adalah ayah temanku sekaligus teman ibuku,
makanya demi sesuatu yang katanya sopan santun aku menanyakan hal itu).
Selanjutnya aku datang ke kantor Kecamatan, pegawai kecamatannya
ramah. Hanya menunggu sebentar, suratku sudah ditandatangani. Awalnya aku
berniat untuk tidak bertanya perihal administrasi, tapi Bapak yang datang
bersamaan denganku tiba-tiba sudah menanyakannya lebih dahulu dan menyerahkan
uang Rp 20.000 ke petugas. Aku tertegun, timbul gejolak tidak ingin memberi
tapi rasanya aneh. Akhirnya, aku keluarkan amplop yang sudah aku siapkan dari
rumah tadi. (Amplop ini aku isi uang Rp 10.000 berhubung di dompetku hanya ada
2 lembar pecahan Rp 10.000, satu lembar pecahan Rp 5.000, satu lembar pecahan
Rp 50.000 dan satu lembar pecahan Rp 100.000).
Next destination
adalah Koramil. Tindakan yang sama aku lakukan seperti di Kecamatan tadi, aku
beri si Bapak uang Rp 10.000 dalam amplop. Padahal sebenarnya si Bapak
menjelaskan biaya administrasi ini tidak bersifat memaksa, tapi karena sudah
terlanjur membahasnya ya aku keluarkan amplop itu dari tasku. Namun setelahnya
aku menyesal. Bukankah seharusnya aku tidak ikut budaya busuk ini. Kenapa
bujukan untuk memberi upah petugas lebih besar dibanding keberanian untuk
memutus rantai biaya administrasi ilegal. Aku pun tidak mengerti. Setelah ini
aku berjanji memberanikan diri untuk tidak menyumbang biaya ilegal. Aku rasa
ini adalah benih-benih korupsi dari urusan birokrasi, semakin banyak ditebar
akan semakin banyak yang tumbuh. Meski awalnya terlihat seperti gulma liar,
lama-kelamaan akan terpelihara dan sulit diberantas.
Tahap akhir dari pengurusan surat ini adalah tanda tangan
Polsek setempat. Aku pun mendatangi kantor kepolisian untuk minta tanda tangan,
setelah urusan selesai aku langsung pulang tanpa membahas uang administrasi.
Hasilnya, oke oke saja. Tidak ada petugas yang memanggilku meminta biaya tanda
tangan. Seharusnya inilah yang aku lakukan sejak awal mengurus surat pengantar.
Memang sulit mengubah mindset orang
lain untuk berhenti dari segala bentuk korupsi, tapi hal kecil yang bisa aku
lakukan sebagai generasi muda dari negara ini adalah mulai memperbaiki diri
sendiri. Menghilangkan budaya “memberi uang terima kasih” yang sudah mengakar
di masyarakat itu tidak mudah tapi dengan menerapkan pada diri sendiri setidaknya
sudah berkurang 1 orang penganut budaya itu.
2.
Photocopy
KK dan KTP legalisir @ 2 rangkap
Informasi tentang persyaratan pembuatan SKCK selain surat
pengantar aku ketahui saat meminta tanda tangan di Polsek. Langsung saja
setelah itu aku pergi ke kantor Catatan Sipil (Capil) untuk meminta legalisir photocopy KK dan KTP. Tidak butuh waktu lama untuk tahapan ini,
hanya menunggu sekitar 5-10 menit, aku sudah mendapatkan kembali
dokumen-dokumen yang sudah dilegalisir. Tidak ada batasan jumlah lembaran dalam
legalisir ini. Hanya saja setelah petugas memanggilku untuk menyerahkan dokumen
yang sudah dilegalisir, dia berkata
“seikhlasnya”. Awalnya aku tidak yakin dengan yang aku dengar hingga aku
bertanya ulang ada apa. Si petugas menjawab, “biaya administrasi seikhlasnya”.
Baru kali ini aku temui petugas yang meminta terang-terangan. Hanya tinggal
uang Rp 5.000 yang tersisa di dompetku, langsung saja aku berikan kepadanya.
Aku tidak tahu ada atau tidak undang-undang catatan sipil yang mengatur biaya
legalisir ini seikhlasnya, jadi aku tidak bisa menentukan ini pungutan liar
atau bukan. Mungkin lain kali aku harus langsung tanyakan landasan hukumnya.
Di rumah aku menceritakan apa yang aku temui hari ini mulai
dari pengurusan surat pengantar sampai legalisir di kantor Catatan Sipil. Tau
apa komen Ibuku? Ibuku tertawa dan bilang aku “pelit”. Aneh, pikirku. Ketika
sesuatu yang benar jarang dilakukan, yang benar malah dipandang salah. Padahal
aku masih memberi uang (dengan nominal yang terlalu rendah katanya), apalagi
aku tidak memberi sedikit pun, apa kata dunia....
3.
Pembuatan SKCK di Polres Lampung Timur
Keesokan paginya aku pergi ke Polres Lampung Timur.
Bodohnya, aku tidak membawa map sama sekali. Sampai sana aku harus mencari si
Penjual map terlebih dahulu (butuh 2 map). Tahap pertama adalah perekaman sidik
jari. Semua dokumen persyaratan dimasukkan ke dalam map. Setelah menunggu
sekitar 15-30 menit, petugas akan memanggil untuk mengisi form A3 terkait
identitas dasar dan melakukan perekaman 10 sidik jari. Setelah selesai beberapa
dokumen dikembalikan untuk pembuatan lembar SKCK. Pada proses ini, dikenai
biaya administrasi sebesar Rp 20.000.
Tahap kedua adalah pembuatan lembar SKCK di bagian Sat
Intelkam. Dokumen yang dikembalikan dalam perekaman sidik jari tadi diserahkan
ke petugas di loket. Setelah itu petugas akan memberi form yang harus diisi,
seputar data pribadi mulai dari identitas dasar diri, orang tua, dan pendidikan
hingga tindakan kejahatan yang pernah dilakukan. Setelah selesai diisi, form
diserahkan kembali ke petugas loket. Butuh waktu sekitar 30 menit, petugas pun
memanggil, SKCK selesai dibuat. (Lamanya waktu tunggu tergantung ramai tidaknya
orang yang sedang membuat SKCK). Setelah aku photocopy beberapa rangkap, aku kembali ke loket untuk meminta
legalisir. Urusan terkait SKCK pun berakhir. SKCK ini hanya berlaku 6 bulan.
Biaya administrasi untuk proses ini sebesar Rp 10.000. Kalau untuk pungutan
yang ini aku yakin resmi karena sudah diatur dalam undang-undang.
Berdasarkan pengalaman ini, ada beberapa hal yang ingin aku
sebarkan ke pembaca:
Pertama, Pembuatan SKCK itu mudah dan tidak memakan banyak
waktu. Jadi sebaiknya hindari calo atau sistem tembak ya.
Kedua, uang yang aku habiskan tidak sampai Rp 150.000
(sistem tembak), hanya Rp 55.000 dan sebenarnya hanya Rp 30.000 jika aku tidak
mengikuti budaya uang terima kasih.
Ketiga, taatlah birokrasi dan mulai hindari segala bentuk korupsi
dari diri sendiri untuk generasi Indonesia yang lebih baik.
Komentar