Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku
Part 2
Pukul 06.00 WIB, “Welcome
to Yogya”, akhirnya aku bisa mengucapkan itu dengan temanku.
Tidak disangka tindakan nekat kami
benar-benar membawa kami ke kota Pelajar yang pekat dengan budaya keraton
itu. Matahari pagi Lempuyangan menyambut
kami dengan cahayanya yang lembut.
Setelah membersihkan diri kami berjalan menuju Malioboro yang katanya
banyak penginapan murah di sekitar sana.
Menurut informasi dari blog, jarak stasiun Lempuyangan ke Malioboro
hanya 500 m, masih lumayan dekat dijangkau dengan berjalan kaki. Karena itulah kami menolak seluruh tawaran
untuk mengantar kami ke Malioboro. Hanya
berbekal GPS smartphone, kami berjalan mengikuti alur yang ditunjukkan GPS
sambil menikmati udara pagi Yogyakarta.
“Welcome to Malioboro”.
Pagi itu Malioboro belum menunjukkan aktivitasnya. Banyak toko dan gerobak yang masih tertutup
dengan terpal. Menurut temanku,
penginapan murah ada di gang kedua dari Mall Malioboro, penginapan Harum namanya. Kami pun menuju ke sana bertanya harga. Ada 3 jenis harga yang ditawarkan, Rp 40.000,
Rp 50.000, dan Rp 75.000 per kamar per hari.
Awalnya pemilik kamar bersikap sangat ramah dan hangat tapi setelah kami bilang ingin lihat
penginapan yang lain dulu, kami langsung dicuekin dan ditinggal masuk ke
dalam. Owh, teganya.
Hampir seluruh penginapan di gang itu, dan gang sebelahnya
kami masuki untuk survei harga. Kisaran
harganya Rp 75.000-Rp 100.000 bahkan lebih dari Rp 100.000 untuk yang sedikit
berkelas. Setelah makan pecel di depan
Mall Malioboro kami pun memutuskan untuk kembali ke penginapan Harum dan
mengambil kamar harga Rp 40.000 untuk 4 hari.
Ternyata kami hanya diminta membayar Rp 35.000 per hari. Agak heran sih kenapa begitu, tapi rasanya tidak
penting untuk dipermasalahkan, syukurlah dapat yang lebih murah.
Hari itu juga penjelajahan kami di Yogyakarta akan segera
dimulai. Setelah mandi dan istirahat
sejenak, pukul 14.05 WIB kami mulai berjalan-jalan. Berikut ini daftar tempat-tempat yang kami
kunjungi selama 4 hari di Yogyakarta.
Semua tempat ini kami kunjungi berbekal informasi dari blog dan GPS
smartphone.
Hari pertama, Benteng Vredeburg (Rp 2.000) dan De Mata Trick
Eye Museum-De Statue Musem (Rp 75.000)
Hari kedua, Candi Borobudur (Rp 30.000) dan Universitas
Gadjah Mada (UGM)
Hari ketiga, Goa Pindul (Rp 35.000)
Hari keempat, Alun-Alun Utara, Keraton Ngayogyakarta (Rp
5.000), Masjid Gede, Pasar Beringharjo
Hal yang mengingatkanku tentang kerja atau S2 hadir saat
kami ke UGM. Kami bertemu sekelik
temanku yang baru saja menuntaskan S2 di UGM.
Ia terlihat sangat berkelas dan berpendidikan, mulai dari tutur kata
hingga penampilan. Yah, aku rasa
peribahasa padi semakin berisi semakin merunduk itu benar adanya. Ia banyak cerita tentang beasiswa dan
pengalamannya S2, dimana lingkungan itu sangat berpengaruh pada pembentukan
pola pikir dan tindakan. Ia sekarang
bekerja sebagai seorang pengajar. Satu
hal yang membuatku sedikit berpikir yaitu ketika ia ditanya ingin S3 atau
tidak. Jawabannya, pasti ada keinginan S3 tapi nanti dulu sekarang cari
pekerjaan yang pasti dulu jadi nanti setelah kembali tahu akan kembali
kemana. “Cari perkerjaan yang pasti”,
masalah sama yang dihadapi lulusan S1.
Ini kembali mengusik pikiranku, bukankah lebih bijak kerja dulu. Setelah itu kalau memang ingin S2, ya S2.
Aku memang berharap akan ada yang aku dapat dari
perjalananku ke Yogya ini. Tetapi aku
rasa cerita dua orang dengan pilihan dan pengalaman hidup berbeda ini semakin
membuatku bingung. Sebenarnya kemana
Tuhan menuntunku. Pilihan mana yang
paling bijak. Saat di kereta menuju
Jakarta, aku yakin lanjut S2 pilihan yang baik tetapi pertemuan di UGM mengubah
hal itu. Apapun pilihanku nanti, aku
yakin Tuhan akan menuntunku kembali.
Lupakan sejenak tentang itu.
Ada kejadian unik yang membuat bulu kuduk kami berdiri,
jantung kami berdebar hingga rasanya lebih baik tidur di emperan toko daripada
di penginapan. Pagi yang cerah di hari
ketiga kami di Yogya berubah kelabu saat pria penghuni kamar samping kami
menunjukkan “p***s”nya kepadaku. Ia
berdiri di depan pintu kamarnya yang hanya berjarak kira-kira 1,5 m dari
tempatku berdiri. Malam harinya ia
melakukan hal sama pada temanku. Ingin
rasanya angkat kaki detik itu juga. Tapi
di saat seperti ini logika harus lebih digunakan. Sehari lagi kami di Yogya, tidak logis
rasanya kami membiarkan pria itu merusak liburan kami. Kami pun mengadukannya pada pemilik
penginapan tetapi tidak digubris.
Ternyata pria bertato itu sudah langganan di sana. Pemilik penginapan tidak percaya dengan
kami. “Autagonistophilia” ,
nama kelainan yang diderita olehnya.
Menurut artikel yang aku baca, penderita akan mendapatkan kepuasan
apabila si korban ketakutan dengan ulahnya.
Informasi ini yang membuatku bersikap senormal mungkin dengannya, lebih
tepatnya menganggap dia tidak ada. Aku
pikir itu cara teraman berhadapan dengannya karena pada dasarnya penderita
kelainan ini tidak memiliki keberanian untuk mengganggu secara fisik.
Hari kelima
kami di Yogya, kereta yang kami pesan berangkat pukul 14.30 WIB dari stasiun
Lempuyangan. Pagi harinya kami
menyempatkan diri untuk berbelanja di Pasar Beringharjo. Tawar menawar dilakukan dengan ketat hingga
rasanya seluruh pasar Beringharjo sudah kami jelajahi. Selesai makan siang, kami angkat kaki dari
penginapan. Aku kira akan terjadi
perpisahan yang sedikit mengharukan dengan pemilik penginapan. Ternyata aku salah besar. Maksud kami untuk pamitan secara santun
ditanggapi sangat dingin, bahkan cenderung seperti diusir.
“Mbah, kami
pamit ya.” Ucapku sehalus mungkin.
“Udah sana,
sana pergi.” Ucap sang Pemilik sambil mengayuhkan tangannya ke arahku (seperti
mengusir).
“Mau salaman
dulu gitu Mbah maksudnya.” Ucapku.
“Mbah, Mbah,
Mbahmu kere opo.”
“............”
Aku mendadak speechless. Temanku puas menertawakanku. “Mbahmu kere opo” menjadi trending topik kami
hari itu. “Enak aja, mbahku lebih kaya
kali dari situ. Gak perlu pusing cari
uang, semua dari anak-anaknya.” Gumamku dalam hati.
Pemilik
penginapan itu seakan memiliki dua wajah.
Wajah ramah saat kami bilang akan menginap dan wajah sangar saat waktu
menginap habis. Hm, manusia.
Tas ransel
berat dengan segepok oleh-oleh ditambah sengatan matahari siang itu membuat
kami tidak sanggup harus berjalan kaki ke stasiun Lempuyangan. Setelah nego dengan tukang becak tidak
ditemukan harga yang pas, kami pun memutuskan naik Trans Yogya (Rp 3.600),
lebih hemat juga pikirku.
Pikiran hemat
yang berbuah keborosan terjadi siang itu.
Kami start dari Malioboro pukul 12.45 WIB dan sampai pukul 13.55 WIB
belum juga sampai di Lempuyangan. Tidak
aku sangka trayek Trans Yogya ini sangat jauh, untuk menuju stasiun Lempuyangan
saja perjalanannya panjang sekali.
Bahkan kami harus transit sekali lagi untuk sampai di stasiun. Setelah tanya dengan petugas halte, petugas
meyarankan kami naik becak saja ke stasiun, karena cukup lama kalau menunggu
Trans sedangkan jam sudah menujukkan pukul 14.05 WIB. Setengah jam lagi kereta berangkat. Kami pun naik becak dari halte ke stasiun
Lempuyangan (Rp 15.000). Seandainya naik
becak dari Malioboro pasti kami sudah sampai dan itu tidak kami lakukan hanya
karena perhitungan medit yang kami lakukan tadi.
Saking terburu-burunya,
aku sampai terjatuh di depan mesin CTM.
Kaki sakit dan rasa malu menumpuk dalam hatiku. Tapi hal baik dalam setiap kejadian itu
selalu ada, untunglah kami tidak ketinggalan kereta. Kereta berangkat tepat pukul 14.30 WIB.
Bersambung ke Part 3
Komentar