Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku
Ngeteng Bogor-Bandar Lampung
Perjalanan taveling praktik umum Bogor berakhir hari ini, Jumat 15 Agustus 2014. Kenangan indah selama di Bogor akan senantiasa menjadi goresan indah dalam lubuk hatiku. Sedih rasanya harus meninggalkan Bogor. Padahal belum semua tempat di Bogor selesai dikunjungi. Semoga saja ada kesempatan di lain waktu untuk melanjutkan traveling di kota seribu angkot ini.
Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, aku, Eka, dan Icha memutuskan untuk kembali ke Bandar Lampung dengan cara ngeteng. Buat yang masih asing dengan istilah ini, ngeteng adalah sebutan untuk perjalanan yang dilakukan dengan putus-putus (menggunakan berbagai transportasi untuk sampai ke daerah tujuan).
Kami hanya membawa barang sesedikit mungkin agar tidak merepotkan kami di perjalanan. Untuk itu, sehari sebelum keberangkatan, kami mengirim koper kami pool Damri Rajabasa, Bandar Lampung melalui pool Damri Botani Square Bogor (ongkos: Rp 40.000). Sebelum menuju stasiun Bogor, aku dan Icha mampir dulu ke Balittro untuk mengurus surat administrasi selesai Praktik Umum. Sekaligus perpisahan pada gedung dan jalan di sekitar Balittro-Biogen. Kami pasti akan merindukan area ini.
Dengan naik angkot 12 (ongkos Rp 2.000), kami berangkat menuju stasiun Bogor pukul 09.00. Di stasiun, Eka sudah menunggu kami dengan 2 tas bawaannya yang lumayan berat. Untuk mengakhiri traveling praktik umum Bogor, kami memutuskan mampir ke Jakarta sebentar untuk jalan-jalan.
Tempat pertama yang menjadi destinasi kami adalah Kota Tua. Dari stasiun Bogor kami berangkat ke Kota Tua dengan Commuter Line jurusan Jakarta Kota (ongkos Rp 5.000).
Sekitar 2 jam kemudian, sampailah di Kota Tua. Ini termasuk perjalanan tidak terencana. Karena baru pertama kali kami ke sini dengan kereta, kami bingung harus berjalan ke arah mana untuk mencapai Kota Tua. Akhirnya dengan intuisi, kami hanya mengikuti hilir mudik orang yang berlalu lalang di depan kami. Kami melewati terowongan penyebrangan sambil berharap ada petunjuk jalan di sebrang sana. Tidak ada petugas kepolisian di sekitar situ yang bisa kami tanyai. Sambil berpikir ke arah mana kami harus melangkah, kami mencari tempat makan terdekat karena perut ini belum makan sejak pagi tadi. Jam menunjukkan pukul 11.00, nasi goreng + es teh (Rp 12.000) menjadi menu pilihan satu-satunya saat itu.
Berbekal informasi dari si Penjual nasi goreng, kami berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh si Penjual (di belakang gedung putih itu katanya). Kami sempat memfoto peta Kota Tua yang kami temui di pinggir trotoar, sebagai petunjuk jalan, begitulah kata Eka.
Kami harus menantang panasnya terik matahari yang dipadu dengan tebalnya polusi udara siang ini untuk sampai ke Kota Tua.
Sampai di Kota Tua, kami langsung berkeliling mencari tempat paling menarik. Kami juga sempat memilih aksesoris unik sebagai oleh-oleh niatnya tapi sayang harganya tidak cocok dengan kantong kami. Selain aksesoris terdapat juga jasa pembuat lukisan. Lukisan yang dipajang terlihat sangat natural dan begitu cantik dipandang. Di sepanjang jalan Kota Tua berjajar gedung-gedung berdesain zaman dulu. Begitu unik kelihatannya. Kami juga sempat melihat mobil dan sepeda antik parkir di sekitar situ. Sayangnya, mobil tersebut masih ditutup terpal sehingga kami tidak jadi berfoto dengannya. Dengan barang bawaan seabrek kami melanjutkan keliling Kota Tua.
Kami pun sampai di depan gedung mantan Balai Kota Jakarta yang kini sudah bermodifikasi menjadi museum Sejarah Jakarta. Sebelumnya, gedung ini hanya bisa kami dilihat dari depan layar TV.
Karena kondisi saat ini begitu panas, kami pun memutuskan untuk masuk ke dalam museum Sejarah Jakarta. Berbekal tiket seharga Rp 3.000 kami bisa berkeliling sampai puas di dalam museum Sejarah Jakarta ini.
Sepatu kami harus dilepas dan diganti dengan sandal yang sudah disiapkan oleh penjaga museum. Kunjungan ke dalam museum pun kami mulai.
Baru sampai di ruangan ketiga, ternyata Eka sudah kelelahan.
Meski kelelahan, semangat kami untuk menjelajahi tempat ini masih terus membara. Berbagai prasasti kami jelajahi.
Kunjungan di lantai 1 museum Sejarah Jakarta pun berakhir. Kini saatnya kami menjelajahi lantai 2 museum Sejarah Jakarta. Kabarnya, lantai 2 penuh dengan barang keramik antik dan berbagai furniture berukiran indah.
Gambar di atas adalah gambar penjara wanita zaman Hindia Belanda. Sebenarnya kami ingin masuk untuk melihat kondisi penjara tersebut. Sayangnya, penjara wanita ini penuh dengan genangan air. Menurut penjaga museum Jakarta ini, memang sudah lama penjara tersebut sering tergenang air bawah tanah. Kunjungan ke lantai 2 pun kami lanjutkan dengan sedikit kekecewaan.
Kunjungan ke museum Sejarah Jakarta ini menyadarkan kami betapa luar biasanya manusia zaman dahulu. Dengan keterbatasan teknologi mereka mampu membuat furniture berukiran indah. Seharusnya kami yang berada di masa teknologi ini bisa lebih hebat dibanding mereka.
Matahari masih terus memancarkan cahaya panasnya. Kami pun masih bersemangat untuk menulusuri Ibu Kota Negara ini. Setelah menambah ion tubuh dengan minuman, tujuan kami selanjutnya adalah Tugu Monumen Nasional (Monas). Berbekal informasi dari penjaga museum, kami melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan kota biru menuju Monas (ongkos Rp 4.000). Kami kira jarak dari Kota Tua ke Monas itu dekat, ternyata begitu jauh. Mungkin ada 1 jam perjalanan kami ke Monas. Dibumbui dengan kemacetan dan terik matahari yang begitu panas, berada dalam angkot rasanya sama dengan dioven. Karena begitu jauh, kami sempat mengira salah naik angkot, tapi ternyata tidak. Kota Tua - Monas memang cukup jauh. Sedikit menyesal rasanya naik angkot, seharusnya kami tadi naik Busway atau kereta saja dari Kota Tua. Tapi ya sudahlah, perjalanan pertama ke Jakarta yang tidak matang ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kami untuk traveling selanjutnya.
Untuk sampai di Monas, kami harus berjalan kaki dari jalan besar. Jauhnya sekitar 500 m. Kami sedikit terkejut ketika hampir sampai Monas. Terdapat banyak kumpulan orang di sana. Barulah kami sadar, hari ini sidang kedua sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Dengan semangat membara kami berjalan menuju gedung Mahkamah Konstitusi. Orang berkaos garuda merah berlalu lalang ke sana ke mari. Ada yang sangat bersemangat berorasi, ada yang sedang makan di area hijau, ada yang berfoto di tengah aksi, dan ada pula yang berjualan. Kami pun tidak mau ketinggalan berfoto. Aksi di gedung MK ini merupakan sejarah hiruk pikuk pilpres 2014.
Asyik berfoto di tengah orang-orang yang beraksi tidak membuat kami lupa tujuan kami. Setelah bertanya kepada petugas terkait lokasi gerbang Monas, kami pun bergegas menuju Monas. Akhirnya Welcome to Monas. Pengamanan sidang sengketa pilpres di MK tampak jelas di Monas. Tank berjajar rapi siap mengamankan MK jikalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu Monas juga jadi parking area mobil-mobil masa pendukung Prabowo-Hatta yang sedang aksi di MK.
Niat kami untuk masuk ke dalam Monas harus kandas lantaran waktu tidak memungkinkan. Kami tidak boleh ketinggalan kereta ke Merak. Lagipula, ada satu tempat lagi yang harus kami kunjungi, yaitu Tanah Abang. Kami pun bergegas keluar dari area Monas. Sayangnya, sandal Icha putus. Kami pun mencari pedagang yang menjual sandal di sekitar area Monas.
Setelah mendapat sandal yang diinginkan, kami pun bergegas pulang menuju Tanah Abang dari stasiun Juanda.
Ada hal konyol yang kami alami saat menuju stasiun Tanah Abang. Tidak ada kereta/Commuter line dari stasiun Juanda yang langsung menuju Tanah Abang. Oleh karena itu, kami harus transit di stasiun Manggarai. Dari stasiun Manggarai barulah kami naik kereta menuju Tanah Abang. Kekonyolan kami adalah kami bukan naik kereta menuju Tanah Abang melainkan kami naik kereta menuju stasiun Juanda. Bahkan ada seorang pemuda yang ikut tersesat gara-gara mengikuti kami. Jelas kejadian ini sudah membuang waktu kami. Kami pun lapor pada petugas setempat. Akhirnya, kami diberitahu mana kereta yang benar.
Setelah sampai di stasiun Tanah Abang, kami langsung menuju pasar Tanah Abang. Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Pukul 17.00 WIB kami harus sudah beranjak dari Tanah Abang. Dengan langkah seribu, kami bergerak menuju toko kerudung. Hanya sedikit toko yang kami datangi karena kami serasa berkejaran dengan waktu. Mungkin kami bisa mendapat harga yang lebih murah bila berjalan lebih jauh lagi. Tapi kami tidak boleh melakukannya. Setelah mendapatkan kerudung yang diinginkan, kami mampir ke rumah makan padang untuk persiapan bekal makan malam di kereta.
Kami pun bergegas kembali ke stasiun Tanah Abang. Dengan cepat kami bergerak naik kereta menuju stasiun Kebayoran. Di stasiun inilah kami akan naik kereta menuju Merak. Kereta Patas Merak namanya. Harga tiket kereta ini hanya Rp 5.000. Oleh karena itu, kami menyebut kereta ini sebagai "Kereta Goceng". Bahkan ada temanku yang berkata bahwa Kereta Patas Merak ini merupakan kereta goceng fasilitas Robinson. Maklum saja, mulai dari buah, jajanan ringan, hingga aksesoris dijual secara asongan di dalam kereta ini.
Kereta ini dijadwalkan berangkat pukul 18.10 WIB. Sambil menunggu, tidak ada salahnya mendokumentasikan perjalanan ini.
Kereta pun datang dan kami langsung berebut untuk mendapat tempat duduk. Naas seribu naas, malang bermilyar malang, kami tidak dapat tempat duduk meski sudah berjalan dari gerbong depan hingga belakang. Akhirnya kami memutuskan untuk pasrah dan duduk lesehan di gerbong belakang tepat di perbatasan dengan gerbong selanjutnya. Seandainya terjadi kecelakaan dan gerbong belakang terputus, kami pasti jadi saksi melayangnya gerbong belakang dan kami akan katakan good bye gerbong :)
Mengenaskan, seru, dan lucu, hanya itu yang ada di benak kami dan membuat kami tertawa sepanjang perjalanan menuju merak. Terlebih lagi jika kami melihat di sekeliling isi gerbong hanya kaum adam. Ok, kami tiga-tiganya kaum hawa di sana. Kemudian kami atur posisi sePW mungkin agar masing-masing dari kami bisa meneropong kursi kosong setiap kali kereta berhenti di tiap stasiun. Sayangnya, meski kereta sudah berhenti di 3 stasiun dan orang-orang sudah keluar masuk kereta, kami tidak kunjung mendapat tempat duduk. Memang bukan ahli nyerobot agaknya -_-
Tidak peduli dengan pandangan orang lain tentang kami, perut ini tidak sanggup lagi menahan lapar. Kami pun makan selahap mungkin. Setiap kali ada orang yang lalu lalang di antara gerbong kereta, kami hanya tersenyum menahan malu. Mungkin ini saat yang tepat memutus urat malu sehari saja.
Entah sudah berapa banyak stasiun dilewati kereta ini, akhirnya kami dapat tempat duduk. Kami pun tertidur di kereta. Ketika kami bangun, kereta sudah sepi padahal perjalanan ke Merak masih 2 jam lagi. Baiklah, sekarang kereta ini sudah seperti milik pribadi kami. Kami bisa tidur selonjoran di kursi dengan enaknya sampai kemudian sang kondaktur membangunkan kami dan berkata bahwa kami sudah sampai.
Kami pun berjalan keluar dengan setengah sadar lalu naik kapal. Kondisi di kapal sangat berbeda dengan kedatangan awal kami ke Bogor. Lagi-lagi, seperti kapal pribadi, begitu sepi. Karena begitulah, setelah sholat kami langsung tidur dengan selonjoran di kursi kapal. Saat terbangun, kami sudah sampai Bakauheni. Akhirnya, aku bisa mengungkapkan "Welcome back to Lampung, Guys"
Dikejar-kejar orang travel adalah hal yang pasti kami jumpai saat turun dari kapal. Berhati-berhati sudah pasti kami lakukan. Dengan ongkos Rp 25.000, kami naik bus dan sampai di terminal Rajabasa dengan selamat.
Perjalanan kembali ke Lampung adalah trip yang paling menyenangkan sekaligus melelahkan sepanjang praktik umum di Bogor. Inilah akhir kisah seru praktik umum. Thanks to God for beautifull thing happened in Bogor. I will miss Bogor so much.
Perjalanan taveling praktik umum Bogor berakhir hari ini, Jumat 15 Agustus 2014. Kenangan indah selama di Bogor akan senantiasa menjadi goresan indah dalam lubuk hatiku. Sedih rasanya harus meninggalkan Bogor. Padahal belum semua tempat di Bogor selesai dikunjungi. Semoga saja ada kesempatan di lain waktu untuk melanjutkan traveling di kota seribu angkot ini.
Setelah mempertimbangkan berbagai aspek, aku, Eka, dan Icha memutuskan untuk kembali ke Bandar Lampung dengan cara ngeteng. Buat yang masih asing dengan istilah ini, ngeteng adalah sebutan untuk perjalanan yang dilakukan dengan putus-putus (menggunakan berbagai transportasi untuk sampai ke daerah tujuan).
Kami hanya membawa barang sesedikit mungkin agar tidak merepotkan kami di perjalanan. Untuk itu, sehari sebelum keberangkatan, kami mengirim koper kami pool Damri Rajabasa, Bandar Lampung melalui pool Damri Botani Square Bogor (ongkos: Rp 40.000). Sebelum menuju stasiun Bogor, aku dan Icha mampir dulu ke Balittro untuk mengurus surat administrasi selesai Praktik Umum. Sekaligus perpisahan pada gedung dan jalan di sekitar Balittro-Biogen. Kami pasti akan merindukan area ini.
Dengan naik angkot 12 (ongkos Rp 2.000), kami berangkat menuju stasiun Bogor pukul 09.00. Di stasiun, Eka sudah menunggu kami dengan 2 tas bawaannya yang lumayan berat. Untuk mengakhiri traveling praktik umum Bogor, kami memutuskan mampir ke Jakarta sebentar untuk jalan-jalan.
Tempat pertama yang menjadi destinasi kami adalah Kota Tua. Dari stasiun Bogor kami berangkat ke Kota Tua dengan Commuter Line jurusan Jakarta Kota (ongkos Rp 5.000).
Sekitar 2 jam kemudian, sampailah di Kota Tua. Ini termasuk perjalanan tidak terencana. Karena baru pertama kali kami ke sini dengan kereta, kami bingung harus berjalan ke arah mana untuk mencapai Kota Tua. Akhirnya dengan intuisi, kami hanya mengikuti hilir mudik orang yang berlalu lalang di depan kami. Kami melewati terowongan penyebrangan sambil berharap ada petunjuk jalan di sebrang sana. Tidak ada petugas kepolisian di sekitar situ yang bisa kami tanyai. Sambil berpikir ke arah mana kami harus melangkah, kami mencari tempat makan terdekat karena perut ini belum makan sejak pagi tadi. Jam menunjukkan pukul 11.00, nasi goreng + es teh (Rp 12.000) menjadi menu pilihan satu-satunya saat itu.
Berbekal informasi dari si Penjual nasi goreng, kami berjalan menuju arah yang ditunjukkan oleh si Penjual (di belakang gedung putih itu katanya). Kami sempat memfoto peta Kota Tua yang kami temui di pinggir trotoar, sebagai petunjuk jalan, begitulah kata Eka.
Kami harus menantang panasnya terik matahari yang dipadu dengan tebalnya polusi udara siang ini untuk sampai ke Kota Tua.
Sampai di Kota Tua, kami langsung berkeliling mencari tempat paling menarik. Kami juga sempat memilih aksesoris unik sebagai oleh-oleh niatnya tapi sayang harganya tidak cocok dengan kantong kami. Selain aksesoris terdapat juga jasa pembuat lukisan. Lukisan yang dipajang terlihat sangat natural dan begitu cantik dipandang. Di sepanjang jalan Kota Tua berjajar gedung-gedung berdesain zaman dulu. Begitu unik kelihatannya. Kami juga sempat melihat mobil dan sepeda antik parkir di sekitar situ. Sayangnya, mobil tersebut masih ditutup terpal sehingga kami tidak jadi berfoto dengannya. Dengan barang bawaan seabrek kami melanjutkan keliling Kota Tua.
Kami pun sampai di depan gedung mantan Balai Kota Jakarta yang kini sudah bermodifikasi menjadi museum Sejarah Jakarta. Sebelumnya, gedung ini hanya bisa kami dilihat dari depan layar TV.
Karena kondisi saat ini begitu panas, kami pun memutuskan untuk masuk ke dalam museum Sejarah Jakarta. Berbekal tiket seharga Rp 3.000 kami bisa berkeliling sampai puas di dalam museum Sejarah Jakarta ini.
Sepatu kami harus dilepas dan diganti dengan sandal yang sudah disiapkan oleh penjaga museum. Kunjungan ke dalam museum pun kami mulai.
Baru sampai di ruangan ketiga, ternyata Eka sudah kelelahan.
Meski kelelahan, semangat kami untuk menjelajahi tempat ini masih terus membara. Berbagai prasasti kami jelajahi.
Kunjungan di lantai 1 museum Sejarah Jakarta pun berakhir. Kini saatnya kami menjelajahi lantai 2 museum Sejarah Jakarta. Kabarnya, lantai 2 penuh dengan barang keramik antik dan berbagai furniture berukiran indah.
Gambar di atas adalah gambar penjara wanita zaman Hindia Belanda. Sebenarnya kami ingin masuk untuk melihat kondisi penjara tersebut. Sayangnya, penjara wanita ini penuh dengan genangan air. Menurut penjaga museum Jakarta ini, memang sudah lama penjara tersebut sering tergenang air bawah tanah. Kunjungan ke lantai 2 pun kami lanjutkan dengan sedikit kekecewaan.
Kunjungan ke museum Sejarah Jakarta ini menyadarkan kami betapa luar biasanya manusia zaman dahulu. Dengan keterbatasan teknologi mereka mampu membuat furniture berukiran indah. Seharusnya kami yang berada di masa teknologi ini bisa lebih hebat dibanding mereka.
Matahari masih terus memancarkan cahaya panasnya. Kami pun masih bersemangat untuk menulusuri Ibu Kota Negara ini. Setelah menambah ion tubuh dengan minuman, tujuan kami selanjutnya adalah Tugu Monumen Nasional (Monas). Berbekal informasi dari penjaga museum, kami melanjutkan perjalanan menggunakan angkutan kota biru menuju Monas (ongkos Rp 4.000). Kami kira jarak dari Kota Tua ke Monas itu dekat, ternyata begitu jauh. Mungkin ada 1 jam perjalanan kami ke Monas. Dibumbui dengan kemacetan dan terik matahari yang begitu panas, berada dalam angkot rasanya sama dengan dioven. Karena begitu jauh, kami sempat mengira salah naik angkot, tapi ternyata tidak. Kota Tua - Monas memang cukup jauh. Sedikit menyesal rasanya naik angkot, seharusnya kami tadi naik Busway atau kereta saja dari Kota Tua. Tapi ya sudahlah, perjalanan pertama ke Jakarta yang tidak matang ini bisa menjadi pelajaran berharga bagi kami untuk traveling selanjutnya.
Untuk sampai di Monas, kami harus berjalan kaki dari jalan besar. Jauhnya sekitar 500 m. Kami sedikit terkejut ketika hampir sampai Monas. Terdapat banyak kumpulan orang di sana. Barulah kami sadar, hari ini sidang kedua sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi. Dengan semangat membara kami berjalan menuju gedung Mahkamah Konstitusi. Orang berkaos garuda merah berlalu lalang ke sana ke mari. Ada yang sangat bersemangat berorasi, ada yang sedang makan di area hijau, ada yang berfoto di tengah aksi, dan ada pula yang berjualan. Kami pun tidak mau ketinggalan berfoto. Aksi di gedung MK ini merupakan sejarah hiruk pikuk pilpres 2014.
Asyik berfoto di tengah orang-orang yang beraksi tidak membuat kami lupa tujuan kami. Setelah bertanya kepada petugas terkait lokasi gerbang Monas, kami pun bergegas menuju Monas. Akhirnya Welcome to Monas. Pengamanan sidang sengketa pilpres di MK tampak jelas di Monas. Tank berjajar rapi siap mengamankan MK jikalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Selain itu Monas juga jadi parking area mobil-mobil masa pendukung Prabowo-Hatta yang sedang aksi di MK.
Niat kami untuk masuk ke dalam Monas harus kandas lantaran waktu tidak memungkinkan. Kami tidak boleh ketinggalan kereta ke Merak. Lagipula, ada satu tempat lagi yang harus kami kunjungi, yaitu Tanah Abang. Kami pun bergegas keluar dari area Monas. Sayangnya, sandal Icha putus. Kami pun mencari pedagang yang menjual sandal di sekitar area Monas.
Setelah mendapat sandal yang diinginkan, kami pun bergegas pulang menuju Tanah Abang dari stasiun Juanda.
Ada hal konyol yang kami alami saat menuju stasiun Tanah Abang. Tidak ada kereta/Commuter line dari stasiun Juanda yang langsung menuju Tanah Abang. Oleh karena itu, kami harus transit di stasiun Manggarai. Dari stasiun Manggarai barulah kami naik kereta menuju Tanah Abang. Kekonyolan kami adalah kami bukan naik kereta menuju Tanah Abang melainkan kami naik kereta menuju stasiun Juanda. Bahkan ada seorang pemuda yang ikut tersesat gara-gara mengikuti kami. Jelas kejadian ini sudah membuang waktu kami. Kami pun lapor pada petugas setempat. Akhirnya, kami diberitahu mana kereta yang benar.
Setelah sampai di stasiun Tanah Abang, kami langsung menuju pasar Tanah Abang. Jam sudah menunjukkan pukul 16.30 WIB. Pukul 17.00 WIB kami harus sudah beranjak dari Tanah Abang. Dengan langkah seribu, kami bergerak menuju toko kerudung. Hanya sedikit toko yang kami datangi karena kami serasa berkejaran dengan waktu. Mungkin kami bisa mendapat harga yang lebih murah bila berjalan lebih jauh lagi. Tapi kami tidak boleh melakukannya. Setelah mendapatkan kerudung yang diinginkan, kami mampir ke rumah makan padang untuk persiapan bekal makan malam di kereta.
Kami pun bergegas kembali ke stasiun Tanah Abang. Dengan cepat kami bergerak naik kereta menuju stasiun Kebayoran. Di stasiun inilah kami akan naik kereta menuju Merak. Kereta Patas Merak namanya. Harga tiket kereta ini hanya Rp 5.000. Oleh karena itu, kami menyebut kereta ini sebagai "Kereta Goceng". Bahkan ada temanku yang berkata bahwa Kereta Patas Merak ini merupakan kereta goceng fasilitas Robinson. Maklum saja, mulai dari buah, jajanan ringan, hingga aksesoris dijual secara asongan di dalam kereta ini.
Kereta ini dijadwalkan berangkat pukul 18.10 WIB. Sambil menunggu, tidak ada salahnya mendokumentasikan perjalanan ini.
Kereta pun datang dan kami langsung berebut untuk mendapat tempat duduk. Naas seribu naas, malang bermilyar malang, kami tidak dapat tempat duduk meski sudah berjalan dari gerbong depan hingga belakang. Akhirnya kami memutuskan untuk pasrah dan duduk lesehan di gerbong belakang tepat di perbatasan dengan gerbong selanjutnya. Seandainya terjadi kecelakaan dan gerbong belakang terputus, kami pasti jadi saksi melayangnya gerbong belakang dan kami akan katakan good bye gerbong :)
Mengenaskan, seru, dan lucu, hanya itu yang ada di benak kami dan membuat kami tertawa sepanjang perjalanan menuju merak. Terlebih lagi jika kami melihat di sekeliling isi gerbong hanya kaum adam. Ok, kami tiga-tiganya kaum hawa di sana. Kemudian kami atur posisi sePW mungkin agar masing-masing dari kami bisa meneropong kursi kosong setiap kali kereta berhenti di tiap stasiun. Sayangnya, meski kereta sudah berhenti di 3 stasiun dan orang-orang sudah keluar masuk kereta, kami tidak kunjung mendapat tempat duduk. Memang bukan ahli nyerobot agaknya -_-
Tidak peduli dengan pandangan orang lain tentang kami, perut ini tidak sanggup lagi menahan lapar. Kami pun makan selahap mungkin. Setiap kali ada orang yang lalu lalang di antara gerbong kereta, kami hanya tersenyum menahan malu. Mungkin ini saat yang tepat memutus urat malu sehari saja.
Entah sudah berapa banyak stasiun dilewati kereta ini, akhirnya kami dapat tempat duduk. Kami pun tertidur di kereta. Ketika kami bangun, kereta sudah sepi padahal perjalanan ke Merak masih 2 jam lagi. Baiklah, sekarang kereta ini sudah seperti milik pribadi kami. Kami bisa tidur selonjoran di kursi dengan enaknya sampai kemudian sang kondaktur membangunkan kami dan berkata bahwa kami sudah sampai.
Kami pun berjalan keluar dengan setengah sadar lalu naik kapal. Kondisi di kapal sangat berbeda dengan kedatangan awal kami ke Bogor. Lagi-lagi, seperti kapal pribadi, begitu sepi. Karena begitulah, setelah sholat kami langsung tidur dengan selonjoran di kursi kapal. Saat terbangun, kami sudah sampai Bakauheni. Akhirnya, aku bisa mengungkapkan "Welcome back to Lampung, Guys"
Dikejar-kejar orang travel adalah hal yang pasti kami jumpai saat turun dari kapal. Berhati-berhati sudah pasti kami lakukan. Dengan ongkos Rp 25.000, kami naik bus dan sampai di terminal Rajabasa dengan selamat.
Perjalanan kembali ke Lampung adalah trip yang paling menyenangkan sekaligus melelahkan sepanjang praktik umum di Bogor. Inilah akhir kisah seru praktik umum. Thanks to God for beautifull thing happened in Bogor. I will miss Bogor so much.
Komentar