Langsung ke konten utama

Postingan Terbaru

Berkunjung ke Desa Adat Baduy Dalam

Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku

CERPEN: INSIDEN JENGKOL






“Memang harus pindah ya”

“Mau bagaimana lagi, pemiliknya bener-bener nggak mau ngontrakin rumah ini lagi. Udahlah jangan diratapi, beresin aja semua buku itu.  Abis Zuhur nanti mobilnya dating ngangkutin barang-barang kita.”

“Ya, aku tau.”

“Buruan ya.” Lana pun pergi meninggalkanku sendiri di kamar itu.

Aku tatap rak bukuku satu per satu. “Ternyata banyak juga ya.” Pikirku dalam hati.
Pindah adalah hal yang paling tidak aku sukai.  Pindah mengharuskan semua barang dipacking dan kalau ada yang tertinggal akan lebih menyebalkan lagi.  Aku masukkan bukuku satu per satu ke dalam kardus.  Seluruh novel sudah ku masukkan.  “Waw, mungkin novel-novel ini seharga dengan uang kost ku satu tahun.” Keluhku atas banyaknya novel yang harus aku ungsikan ke tempat tinggal baru kami.

Kini tiba saatnya membereskan buku selain novel.  Baru ku sadari ternyata ada album foto juga di rak bukuku.  Album foto mini yang sudah buluk.  Ku buka lembaran-lembaran foto di album itu, album SMP.  Senyum simpul orang-orang di foto itu mengingatkan betapa indahnya masa-masa SMP.  Untung saja masih punya foto-foto SMP.  Dulu hanya satu dua orang yang punya handphone berkamera, itu pun dilarang dibawa ke sekolah, tidak seperti sekarang yang tiap momentnya sangat mudah untuk diabadikan.  Foto-foto jadul ini diambil menggunakan tustel Ibuku yang sudah sangat tua.  Untuk membeli rol filmnya pun aku dan teman-teman SMP ku harus iuran.  SMP, masa itu terjadi lebih dari 6 tahun yang lalu.  Aku senyum-senyum sendiri membuka tiap lembaran foto-foto unik itu.  Ada satu foto yang membuatku terdiam lalu tersenyum lebih lebar dari foto-foto sebelumnya, foto empat anak laki-laki mengenakan seragam SMP.  Foto ini mengingatkanku pada kejadian 6 tahun lalu di kelas IX A SMP ku.


‘’

“Lihat mereka.” Ucapku pada ketiga temanku sambil menatap empat cowok di pojokan sana.

“Keren tau.” Ucap Yana.  Aku menatap Yana dengan pandangan miris tanda tidak setuju dengan pernyataannya.

“Sok keren itu mah.” Ani membantah ucapan Yani dan aku sangat setuju dengan pernyataan kali ini.

“Tapi mereka populer.” Tambah Zia.

“Itu yang aku heranin.  Apa yang cewek-cewek lain liat dari mereka.  Kerjaannya tebar pesona, trus ngerumpi di pojokan.  Kayak cewek tau gak.”  Ucapku heran.

Empat laki-laki yang menurutku aneh di sekolah ini, yaitu Desta, Krisna, Ferdi, dan Wija.  Mereka berempat begitu populer hingga banyak anak yang mengidolakan mereka dan menyamakan mereka dengan F4 Meteor Garden (Oh my God, jauh banget padahal -_-).  Tidak jelas apa penyebab kepopuleran mereka, yang pasti ketika mereka lewat semua mata akan langsung tertuju padanya.  Aku menganggap itu sebagai bentuk tebar pesona dan aku benar-benar tidak suka pada laki-laki yang hobi tebar pesona seperti mereka.  Parahnya, aku harus berada dalam kelas yang sama dengan mereka berempat.  Feel bad.



Hari ini pelajaran TIK (Teknologi Ilmu Komputer).  TIK kali ini membahas tentang cara membuat email.  Bagi kami yang tinggal di pedesaan, email adalah sesuatu yang “Wah”.  Masing-masing anak diminta untuk membuat email.  Sayangnya komputer yang bisa online hanya ada satu, padahal jumlah siswa ada 32 orang.  Itu berarti kami harus sabar mengantri.  Saking antusiasnya, ketika satu orang sedang membuat email, seluruh anak mengelilinginya seperti melihat jaranan saja.

“Ayo geh buruan.”

“Sabar, ini tinggal ngisi makanan favorit.”

“Udahlah, isi jengkol aja yang gampang diinget.”  Ucapku menimbrung percakapan teman-temanku tadi.
“Akhirnya istirahat juga.” Ucap Yana sambil memasang tali sepatu.

“Akhirnya, aku punya email.” Ucapku senang.

“Seneng banger sih, emang mau ngirim email ke siapa?”

“Entahlah, yang penting punya dulu.”

“Ayo ke kantin.” Ajak Zia dan Ani.

Kami berempat pun menuju kantin.  Sangat disayangkan kami harus bertemu keempat cowok itu di pojokan.  Aku, Zia, dan Ani ingin putarbalik saja.  Tapi Yana menolak.

“Tidak baik menghindar.” Ucap Yana.  Entah apa alasan Yana sebenarnya, aku sempat berpikir bahwa sebenarnya Yana suka pada salah satu dari mereka.  Baiklah, mungkin itu bukan urusanku.

“Mau lewat? Yakin mau lewat?” Ucap Ferdi pada kami dengan mengulurkan tangannya pada tembok agar kami tidak bisa lewat.  Sudah ku duga ini akan terjadi.  Desta, Krisna, dan Wija hanya tersenyum melihat keisengan Ferdi.

“Minggir.” Ucap Zia sambil menghalau tangan Ferdi.  Tapi tangan Ferdi tidak bergeser sedikit pun.

“Apa imbalannya kalo kami membiarkan kalian lewat?” Tanya Krisna tiba-tiba.

“Gak usah kayak anak kecil deh, emang jalan ini punya kalian?!” Ucap Yana ketus.

Mendengar ucapan Yana, mereka berempat malah terbawa terbahak-bahak, entah bagian mana yang lucu.  Aku bisa merasakan dengan jelas hawa bercanda pada keempat cowok itu tapi sayangnya kami berempat sedang tidak ingin bercanda saat ini.  Aku langsung menghalai tangan Ferdi yang sedang lengah karena ia sedang asyik menertawakan kami.  Kami pun bisa lewat.  Ferdi terkejut bukan main.

“Eh, kalian ngerasa ada bau jengkol nggak sih?” Ucap Ferdi pada ketiga temannya.

Kalimat itu terasa seperti mengejek sesuatu tapi aku tidak paham apa.  Kami tidak peduli dan langsung pergi.


Di kelas….

“Kerasa gak sih ada bau jengkol.” Ucap Ferdi.

“Iya bau banget.”

“Hahahaha..”

Aku mendengar dengan jelas percakapan mereka.  Mereka mengatakan hal itu sambil mencuri pandang ke arah kami berempat.


Saat kami hendak ke kantin, lagi-lagi kami harus berpapasan dengan mereka tapi kali ini bukan di pojokan lagi.

“Hm… bau jengkol nie.” Ucap Wija saat kami berempat lewat.

“Emang gini ni kalo suka makan jengkol, ya keringetnya bau jengkol juga.” Timpal yang lain.
Sebelum ke kantin, kami mampir ke kamar mandi.  Kami mencium bau badan kami sendiri.

“Apanya yang bau jengkol.” Ucap Ani sebal.

“Aku gak makan jengkol kali.” Tambah Zia.

“Apa sih maksud mereka?” Yana ikut berkomentar.

“Jangan-jangan gara-gara daftar email waktu itu.” Ucapku lirih tapi masih dapat didengar mereka bertiga.

“Email?”

“Ya, waktu itu si Rina lagi bingung mau ngisi apa di bagian kolom makanan favorit.  Terus aku suruh aja dia ngisi jengkol biar cepet dan mudah diingat.” Aku bercerita pada mereka bertiga. “Mungkin cowok-cowok itu denger waktu aku bilang jengkol. Tapi masa iya cuma gara-gara itu.” Lanjutku.

Hari-hari berlalu dengan cepat dan hanya kata-kata “bau jengkol” yang keluar dari mulur mereka setiap kali melihat aku dan teman-temanku.  Bahkan di hadapan khalayak ramai pun mereka puas menertawakan kami gara-gara jengkol itu.  Anak-anak lain menatap kami dengan tatapan aneh dan cowok-cowok itu senang.

“Ferdi, sebenernya maksud kamu tentang jengkol-jengkol itu? Udah seminggu ini tau gak sih, yang kalian bahas tentang jengkol mulu. Malu-maluin tau gak. Di hadapan orang banyak lagi kalian ngejek kami seenaknya gitu.” Ucapku panjang lebar pada Ferdi.

“Bukannya itu emang makanan favorit kamu ya Ra?”

“Kapan aku bilang aku suka jengkol? Yang email itu? Itu kan biar efisien waktu aja, bukan berarti aku bener-bener suka jengkol.”

“Sora, sora, udahlah jangan berkelit.  Suka pun gak papa kok.” Ucap Wija.

“Ya, paling cuma bau aja.” Tambah Krisna.

Aku menatap ke arah Desta siap menerima segala komentarnya.  Tapi ternyata Desta hanya tertawa, ikut tertawa riang dengan teman-temannya yang lain. Menyebalkan!

Hari-hariku kini penuh dengan ejekan jengkol dan teman-temanku jadi ikut terkena batunya.

“Udah 2 minggu ini mereka selalu membuli kita dengan kata-kata bau jengkol.” Ucap Yana kesal.

I have idea.” Ucapku yakin.  Aku menceritakan ideku pada Yana, Ani, dan Zia.  Mereka ragu tapi ingin balas dendam.  Akhirnya mereka setuju dengan ide konyolku.


Keesokan paginya, Zia membawa satu plastik besar jengkol yang ia peroleh dari kebun neneknya.  Istirahat adalah waktu dimana kelas dalam kondisi sepi.  Kami berempat menyusup ke dalam keheningan kelas lalu memasukkan jengkol-jengkol itu ke dalam tas Ferdi, Krisna, Wija, dan Desta.  Ferdi kami beri jengkol paling banyak karena dia yang paling vocal menyuarakan ejekan tidak berbobot itu.  Desta kami beri jengkol paling sedikit karena dia jarang bersuara tapi tetap saja dia bagian dari geng sok keren itu.

“Udah dimasukin semua.” Lapor Ani padaku.

“Bagus, biar mereka tau gimana bau jengkol yang sebenarnya itu.” Ucapku puas.

“Aku takut.” Ucap Yana.

“Gak ada yang perlu ditakutkan. Mereka akan sadar ada jengkol di tas mereka waktu pelajaran IPS nanti jadi gak mungkin mereka membuat keributan, ada guru di situ. Pak Ardi gak akan membiarkan muridnya gaduh.” Ucapku meyakinkan Yana.  Aku menatap ke arah Zia.  Aku tau Zia juga ketakutan.  “Semua akan berjalan lancar.” Aku berusaha meyakinkan.  Zia hanya menanggapiku dengan mengangguk.

Waktu untuk pelajaran IPS pun tiba.  Sudah 15 menit kami menunggu Pak Ardi tapi beliau tidak kunjung datang. “Mungkin beliau terlambat.” Pikirku berusaha menenangkan hatiku sendiri.
30 menit beliau belum juga datang.  Kelas mulai gaduh.  Satu per satu anak keluar meninggalkan kelas untuk menghirup udara segar.  Yana menatapku.  Aku paham maksud tatapannya itu ingin mengatakan “Ini gawat, kita gagal.”

Failed.” Ucap Zia padaku.  Aku hanya tersenyum miris.

“Hm, bener-bener bau jengkol ya.” Ucap Ferdi dari kejauhan sambil tertawa menatapku.  

“Apa-apaan sih itu orang.” Ucap Ani kesal.  Terbersit sesuatu di benakku cara agar mereka mengetahui ada jengkol dalam tasnya, tapi apa.  Pikiranku buntu.  Aku pun berjalan keluar kelas untuk mencari udara segar berharap terlintas ide brilian di benakku.  Selain itu, aku juga sudah tidak betah dengan ejekan Ferdi dan ketiga temannya yang menyebalkan.

“Aku mau keluar.” Ucapku pada Zia, Yana, dan Ani.  Ani mengikutiku tapi Zia dan Yana tetap diam di kelas.

Tiba-tiba langkahku terhenti tepat di muka pintu kelas.  Tidak jauh dari tempatku berdiri ada Ferdi, Wija, Krisna, Desta, dan beberapa cowok lain yang asyik mengobrol sambil tertawa ngakak.  Yang membuatku menghentikan langkahku adalah…

“Wija, pinjem headset donk.” Pinta Dodi.  Wija pun langsung merogoh tasnya dan ia sangat terkejut karena menemukan puluhan jengkol di dalam tasnya.  Aku terdiam dan tersenyum simpul.  Aku, Ani, Yana, dan Zia saling melempar pandangan.

“Apa ini? Siapa yang masukin ini ke tasku?” Wija langsung membentak.  Mukanya merah pertanda ia sangat marah.

“Ngapain bawa jengkol ke sekolah sih?” Tanya Dodi.

“Enak aja, bukan aku yang bawa ini euy. Siapa ini pelakunya?” Wija terlihat sangat marah.

Yana langsung menghampiriku.  “Sora, dia beneran marah.”

Tangan Yana menggenggam tanganku.  Dia takut.  Aku juga takut.  Belum pernah aku melihat Wija semarah ini.  Kakiku gemetar.  Apa yang harus ku lakukan.  Memang susah ingin berbuat nakal tapi bukan anak nakal.

“Jangan-jangan.”  Krisna menyadari sesuatu.  Ia segera mengecek tasnya dan benar saja tasnya juga ikut menjadi sarang para jengkol.  Melihat hal itu, Ferdi dan Desta juga mengecek tasnya.

“Apa-apaan ini.” Desta berkomentar.

“Hahahaha…” Ferdi tertawa.  “Siapa yang masukin jengkol-jengkol ini woy?” Lanjutnya.

Seketika itu kelas langsung gaduh.  Bukan hanya mereka berempat, tapi cowok-cowok lain di kelas ikut meramaikan suasana.  Kulit jengkol dibuka dan terjadi perang jengkol di kelas.  Mereka saling lempar dan membuat seisi kelas bau jengkol.  Aku, Yana, Zia, dan Ani menjadi panik.  Bukan ini rencana kami.  Para anak perempuan segera mengungsi keluar kelas, termasuk kami.  Sok polos dan tidak tau apa-apa, itulah wajah yang ingin kami pasang saat ini.  Menyadari kegaduhan di kelas kami, kelas tetangga ikut heboh.

“Bau apa ini?” Tanya Dirga, ketua kelas IX B.  Belum ada yang menjawab pertanyaannya, sebuah jengkol dari kelas kami langsung menghantam keningnya.  Aku rasa kini dia sudah tau jawabannya.  Baiklah, yang terjadi sekarang adalah perang jengkol antarkelas A dan B.

Kami para gadis segera mengungsi di bawah kerai payung.

“Bau banget pasti kelas kita.  Ulah siapa ini sebenernya?!” Ucap temanku Dila dengan nada tinggi.    Aku, Yana, Zia, dan Ani diam aja pura-pura tidak tau.  Aku benar-benar merasa jadi pengecut kali ini.  Kami telah melempar batu lalu menyembunyikan tangan kami.  Jantungku berdetak sangat kencang, belum pernah aku berbohong sebelumnya.  Kini aku harus berbohong demi menjaga nama baikku.  Menyedihkan sekali tingkahku ini.

“Siapapun dia, dia harus bersihin seluruh kelas, dan dipel sampe seluruh bau jengkol itu hilang.”  Ucap Aya kesal.  Wajar saja sih, Aya adalah ketua seksi kebersihan di kelas kami.  Tapi benarkah dia akan tetap mengatakan itu jika dia tau aku adalah pelakunya.  Aya sangat baik padaku sebelumnya.

“Tet, tet, tet…”  Bel sekolah berbunyi, tanda untuk pulang.

Para gadis segera menuju kelas untuk mengambil tas, termasuk kami berempat.  Aku ingin bergegas pulang dan melupakan kekonyolanku hari ini.  Tapi tiba-tiba Zia menarik lenganku.

“How?” Tanyanya padaku.

“Aku takut.” Tambah Yana.

“Kamu liat kan, Wija marah serem banget. Dila, Aya, dan semuanya marah.  Kita bisa dimusuhin satu kelas.”  Ani ikut berkomentar.

“So?” Tanyaku pada mereka.  Aku juga bingung harus bagaimana, aku juga takut atas kemarahan teman-teman sekelasku.  Image baikku selama ini akan hilang gara-gara insiden kecil seperti ini.  Ini semua tidak sesuai rencana.  Mana ku tau Pak Ardi tidak mengajar hari ini. Mana ku tau kalau mereka akan membuka kulit jengkol itu dan main perang-perangan seperti anak kecil.  Bagaimana bisa aku tau kejadiannya akan seperti ini.  Ingin aku teriak, “Berhenti menyalahkanku.”

“Mengakuinya.” Ucap Yana.

“Apa?” Aku sangat terkejut dengan satu kata itu.

“Kita ngaku, mungkin mereka akan mengerti alasan kita berbuat ini.” Yana menjelaskan maksudnya.
“Aku setuju, kita harus minta maaf.” Tambah Zia.

“Minta maaf? Mereka yang harusnya minta maaf duluan ke kita.” Aku masih tidak terima dengan pemikiran ketiga temanku ini.  Aku melihat ke arah Ani berharap Ani akan mendukungku.

“Kita harus minta maaf.” Ucap Ani mematahkan harapanku.

“Ok, tapi kalian yang memulai pembicaraan dengan mereka.” Pintaku sedikit kesal dengan keputusan ini.

Sepertinya Tuhan memang setuju kami meminta maaf pada keempat cowok itu.  Tidak biasanya mereka pulang terakhir di saat kelas sudah sepi.

“Kami mau bicara.” Ucap Yana pada mereka.  Mereka hanya diam sambil mengikat tali sepatu.

“Apa?” Tanya Krisna.

Tiba-tiba Yana, Ani, dan Zia menatapku.  Aku mengerti apa maksud tatapan itu.  Tapi tadi kan aku sudah bilang, seharusnya mereka saja yang mewakili permintaan maafku.

“Apa? Kami mau pulang ini.” Ucap Ferdi.

“Kami yang masukin jengkol ke tas kalian.” Ucapku.

“Ha? Hahahahahahha….” Mereka berempat tertawa kompak.

“Maaf ya atas insiden hari ini.  Tadi bener-bener gak sesuai rencana.  Kalian yang bikin satu kelas bau semua.  Coba kalo jengkolnya gak dibuka, pasti gak bau.” Tambahku yang masih saja menyalahkan mereka.  “Akhirnya sekarang kalian tau kan jengkol itu baunya kayak apa.  Kami gak bau jengkol yang pasti.  Mulai sekarang jangan ngomong soal jengkol lagi.  Pokoknya, maaf untuk hari ini.” Timpaku lagi.

“Owh, ok, ok, kami minta maaf juga atas omongan tentang jengkol itu.  Gak akan lagi deh ngomongin bau jengkol itu lagi.” Ucap Ferdi.  “Kalian setuju kan Guys?” Tanya Ferdi ke teman-temannya.

“Iya.” Jawab mereka sambil tersenyum.

“Berarti sekarang kita damai kan?” Ucap Ferdi sambil mengulurkan tangannya padaku.

“Ok, damai.” Ucapku menyambut uluran tangannya.  Kami bersalaman satu sama lain.  Hal ini menjadi pertanda berakhirnya konflik konyol kami.

Itu adalah kenangan paling konyol sepanjang perjalanan SMPku.  Lulus dari SMP, kami berjalan di jalan kami masing-masing.  Sejak pengumuman kelulusan aku tidak pernah lagi bertemu dengan Wija.  Pertemuan terakhirku dengan Ferdi aku rasa terjadi di pasar, saat itu ia sedang menjaga toko.  Mungkin itu pekerjaannya kini.  Pertemuan terakhirku dengan Krisna sepertinya di warnet.  Dia masih saja senang mengejekku.  Kalau dengan Desta, aku lumayan sering bertemu.  Wajar saja, dia satu SMA denganku dan kini dia juga satu Universitas denganku.


“Sora, udah kelar packingnya?” Tanya Lana tiba-tiba.  Pertanyaan itu sekaligus membuyarkan lamunanku tentang masa-masa SMP dulu.

“Iya, ini tinggal diselotip.” Ucapku sambil memasukkan album kenangan SMP itu ke dalam kardus.

“Ok, mobil yang mau ngangkut udah dateng tu.”

--- TAMAT ---

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS VEGETASI

ANALISIS VEGETASI (Laporan Praktikum Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma) Oleh Kelompok 7 Desna Herawati Diki Apriadi Dwi Safitri Habiba Nurul Istiqomah Heru Dwi Purnomo JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

Laporan Kemiringan Lereng

I.                    PENDAHULUAN 1.1               Latar Belakang Topografi merupakan bentuk permukan bumi dipandang dari kemiringan lereng dan beda tinggi dari permukaan laut.   Permukaan tanah dengan beda tinggi dan kemiringan yang sangat besar, maka disebut topografinya bergunung, sedangkan untuk beda tinggi dan kemiringan yang lebih rendah secara berurutan disebut berbukit, bergelombang, dan berombak.   Ilmu yang membahas tentang topgrafi ini disebut geomorfologi.   Dua unsur topografi yang banyak dibahas dan besar pengaruhnya terhadap erosi adalah panjang lereng ( length ,) dan kemiringan lereng ( slope ). Bentuk lereng tergantung pada proses erosi, gerakan tanah, dan pelapukan.   Sedangkan, kemiringan lereng terjadi akibat perubahan permukaan bumi di berbagai tempat yang disebabakan oleh daya-daya eksogen dan gaya-gaya endogen.   Hal inilah yang mengakibatkan perbedaan letak ketinggian titik-titik diatas permukaan bumi. Kemiringan lereng terjadi akibat

Perombakan Bahan Organik dan Siklus Nitrogen

A.     PEROMBAKAN BAHAN ORGANIK 1.         Sumber Bahan Organik Bahan organik berasal dari sisa-sisa hewan, serasah tumbuhan, dan limbah pertanian. Semua sumber bahan organik mengandung air, bahan mineral (abu), dan senyawa organik. Kandungan air adalah 20%-90% dari berat basah tanaman. Kandungan ini dipengaruhi oleh organ tanaman yang diambil dan umur tanaman tersebut. Kandungan air pada daun akan jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan air pada akar tanaman. Bahan mineral (abu) meliputi K, Ca, Mg, Na, P, S serta unsur mikro kurang lebih 1%-10% berat kering. Senyawa organik menyusun <50% berat segar tanaman. Kandungan senyawa organik ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan debu (Sutanto, 2005). Sutanto (2005) dalam bukunya menyebutkan bahwa senyawa organik dibedakan atas: §      Karbohidrat, yaitu gula dan pati (mengandung sel), pektin, hemiselulosa, selulosa (dinding sel). Karbohidrat merupakan penyusun senyawa organik terbesar penyusun bahan organik (>