Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku
MENINGKATKAN
KUANTITAS DAN KUALITAS PRODUKSI TANAMAN SAWI DENGAN BUDIDAYA TEKNOLOGI
AEROPONIK
(Makalah Mata Kuliah Budidaya Nir Tanah)
Oleh
Kelompok 10
Akbar
Fadhilah
|
1114121015
|
Habiba
Nurul Istiqomah
|
1114121095
|
Lita
Andryyani
|
1114121121
|
Malida
Rahmawati
|
1114121125
|
Oktaviolentina
|
1114121149
|
JURUSAN
AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
LAMPUNG
2014
'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Hidroponik
adalah suatu istilah yang digunakan untuk bercocok tanam tanpa menggunakan
tanah sebagai media tumbuhnya. Tanaman
dapat ditanam dalam pot atau wadah lainnya dengan menggunakan air dan atau
bahan - bahan porous lainnya, seperti kerikil, pecahan genting, pasir, pecahan
batu ambang, dan lain sebagainya sebagai media tanamnya. Zat makanan atau unsur-unsur hara yang
diperlukan untuk pertumbuhan tanaman disuplai langsung ke dalam air yang
digunakan berupa larutan campuran pupuk.
Campuran pupuk ini dapat diperoleh dari hasil ramuan sendiri garam-garam
mineral dengan formulasi yang telah ditentukan atau menggunakan pupuk buatan
yang sudah siap pakai.
Bertanam
secara hidroponik telah dimulai ribuan tahun yang lalu. Menurut cerita, ada
taman gantung di Babilon dan taman terapung di Cina yang bisa disebut sebagai
contoh Hidroponik. Lebih lanjut diceritakanpula, di Mesir, India dan Cina,
manusia purba sudah kerap menggunakan larutan pupuk organik untuk memupuk
semangka, mentimun dan sayuran lainnya dalam bedengan pasir di tepi
sungai. Cara bertanam seperti ini
kemudian disebut river bed cuultivation. Ketika ahli patologis tanaman menggunakan
nutrien khusus untuk media tanam muncullah istilah nutri culture. Setelah itu, bermunculan istilah water culture, solution culture dan gravel
bed culture untuk menyebutkan hasil percobaan mereka yang menanam sesuatu
tanpa menggunakan tanah sebagai medianya. Terakhir pada tahun 1936 istilah
hidroponik lahir, istilah ini diberikan untuk hasil dari Dr. WF. Gericke,
seorang agronomis dari Universitas California, USA, berupa tanaman tomat
setinggi 3 meter yang penuh buah dan ditanam dalam bak berisi mineral hasil uji
cobanya. Sejak itu, hidroponik yang
berarti hydros adalah air dan ponics untuk menyebut pengerjaan atau
bercocok tanam, dinobatkan untuk menyebut segala aktivitas bercocok tanam tanpa
menggunakan tanah sebagai tempat tumbuhnya. Gericke ini menjadi sensasi saat itu, foto dan
riwayat kerjanya menjadi headline surat kabar, bahkan ia sempat dinobatkan menjadi
orang berjasa abad 20. Sejak itu, hidroponik tidak lagi sebatas skala
laboratorium, tetapi dengan teknik yang sederhana dapat diterapkan oleh siapa
saja termasuk ibu rumah tangga. Jepang yang kalah dari sekutu dan tanahnya
tandus akibat bom atom, pada tahun 1950 secara gencar menerapkan hidroponik.
Kemudian negara lain seperti irak, Bahrain dan negara-negara penghasil minyak
yang tanahnya berupa gurun pasir dan tandus pun ikut menerapkan hidroponik
(Lingga, 2004).
Aeroponik
merupakan salah satu cara budidaya tanaman hidroponik. Menurut Leo (2009), cara
ini belum sefamiliar cara-cara hidroponik lainnya (seperti cara tetes dan Nutrient Film Technique). Kalau dilihat
dari kata-kata penyusunnya, yaitu terdiri dari Aero dan Phonic. Aero berarti udara, phonic
artinya cara budidaya, arti secara harafiah cara bercocok tanam di udara, atau
bercocok tanam dengan sistem pengkabutan, dimana akar tanamannya menggantung di
udara tanpa media (misalkan tanah), dan kebutuhan nutrisinya dipenuhi dengan
cara spraying ke akarnya.
Teknik
hidroponik banyak dilakukan dalam skala kecil sebagai hobi di kalangan
masyarakat Indonesia. Pemilihan jenis tanaman yang akan dibudidayakan untuk
skala usaha komersial harus diperhatikan, karena tidak semua hasil pertanian
bernilai ekonomis. Jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk
dibudidayakan di hidroponik yaitu, paprika, tomat, timun jepang, melon, selada
dan sawi. Salah satu jenis sayur yang
mudah dibudidayakan adalah tanaman sawi. Sayuran berdaun hijau ini termasuk
tanaman yang tahan terhadap air hujan, dan dapat dipanen sepanjang tahun tidak
tergantung dengan musim. Masa panenpun juga terbilang cukup pendek, setelah 40
hari ditanam sawi sudah dapat dipanen.isamping kemudahan dalam proses budidaya,
sayur sawi juga banyak dijadikan sebagai peluang bisnis karena peminatnya yang
cukup banyak. Permintaan pasarnya juga cukup stabil, sehingga resiko kerugian
petani sangat kecil.
Penambahan
jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan peningkatan luasan lahan pertanian
menuntut adanya solusi khusus untuk peningkatan produksi pertanian dengan lahan
sempit, termasuk produksi sawi. Selain
itu, kini konsumen semakin cerdas dalam pemilihan sayuran sawi untuk
konsumsi. Terdapat 3 aspek yang harus
dipenuhi petani untuk dapat memenuhi permintaan konsumen, yaitu kualitas,
kontinuitas dan produktifitas (Leo, 2009).
Penanaman dengan budidaya hidroponik adalah salah satu solusinya. Hidroponik lebih unggul dibanding budidaya
konvensional karena hanya membutuhkan luasan lahan yang sempit, tidak
membutuhkan rotasi tanaman, tanaman dapat ditanam sepanjang tahun, dapat
mengaktualisasi potensi genetik tanaman, dan hemat tenaga kerja.
1.2
Tujuan
Tujuan
dari praktikum ini adalah sebagai berikut.
1.
Mengetahui jenis-jenis hidroponik.
2.
Mengetahui teknik budidaya sawi dengan
budidaya aeroponik.
3.
Mengetahui perbandingan antara teknik
budidaya aeroponik dan konvensional tanaman sawi.
'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
II. BUDIDAYA TEKNOLOGI HIDROPONIK
2.1 Macam Hidroponik dan Sistem Pemberian Hara
Secara
umum hidroponik diartikan sebagai teknik budidaya yang tidak menggunakan tanah
sebagai media tanamnya. Secara khusus,
hidroponik merupakan teknik budidaya menggunakan air sebagai media tanamnya. Beberapa teknik hidroponik, yaitu hidroponik
substrat, rakit apung, NFT, ebb and flow, dan aeroponik. Penjelasan mengenai masing-masing sistem
diuraikan di bawah ini.
2.1.1
Sistem
Hidroponik Substrat
Sistem hidroponik substrat merupakan
metode budidaya tanaman dimana akar tanaman tumbuh pada media porus selain
tanah yang dialiri larutan nutrisi sehingga memungkinkan tanaman memperoleh
air, nutrisi, dan oksigen secara cukup.
Teknik yang digunakan dalam budidaya hidroponik
substrat antara lain :
1.
Memilih substrat yang sesuai dengan tanaman yang akan
dibudidayakan. Misalnya: arang sekam, pasir, pecahan batu bata
2.
Bila menggunakan lebih dari satu macam substrat, maka
harus dilakukan perbandingan yang sesuai. Misalnya sustrat pasir dan arang
sekam dengan perbandingan 1:1
3.
Memasukkan substrat pada pot/polybag
4.
Menanam bibit tanaman yang disediakan pada pot/polybag
5.
Merendam pot/polybag tersebut dalam wadah yang berisi
nutrisi sedalam ± 5 cm
Sistem hidroponik substrat ini memiliki keunggulan dan
kelemahan dibanding system lainnya.
Keunggulannya yaitu tanaman dapat berdiri lebih tegak, kebutuhan nutrisi
mudah untuk dipantau, dan biaya operasional tidak terlalu besar. Sedangkan kekurangan sistem ini antara lain
populasi tanaman tidak terlalu banyak, terlalu banyak menggunakan wadah, dan
mudah ditumbuhi lumut.
Gambar 1. Contoh penanaman sawi
dengan sistem hidroponik subtrat
2.1.2
Rakit Apung (FHS)
Rakit apung atau Floating
Hydroponic System (FHS) adalah salah satu sistem budidaya secara hidroponik
tanaman (sayuran, terutama) dengan cara menanam tanaman pada lubang styrofoam
yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi dalam bak penampung atau kolam
sehingga akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi. Pada sistem ini larutan
tidak disirkulasikan, namun dibiarkan tergenang dan ditempatkan dalam suatu
wadah tertentu untuk menampung larutan tersebut, sehingga sangat cocok
digunakan di daerah yang belum dialiri listrik.
Budidaya
tanaman dengan sistem ini dilakukan dengan menyiapkan bibit tanaman berumur
sekitar 2 minggu kemudian melubangi sterofoam sesuai jarak tanam. Tanaman yang sudah siap ditanam pada lubang
sterofoam dengan dibalut spon terlebih dahulu agar tidak lepas dari
lubang. Sterofoam tersebut diletakkan
pada bak apung yang telah diberi larutan nutrisi
Bak apung dapat berbentuk permanen atau plastik. Lebar
dan panjang sterofoam disesuaikan dengan bak sampai seluruh permukaan nutrisi
sebisa mungkin tertutup oleh sterofoam.
Hal ini untuk menanggulangi tumbuhnya lumut di dalam nutrisi tersebut. Jarak tanam juga disesuaikan dengan lebar dan
panjang sterofoam dan populasi tanaman yang diinginkan.
Keunggulan
dari budidaya hidroponik rakit apung yaitu dapat memanfaatkan lahan sempit,
merupakan sistem hidroponik yang paling mudah dan sederhana, tidak memerlukan
keahlian mendalam, dan lebih hemat listrik.
Sedangkan kekurangan budidaya dengan sistem ini adalah memungkinkan
tanaman kekurangan oksigen, cepat terjadi peningkatan suhu, memerlukan
pemantauan pH dan kepekatan lebih rutin, dan pertumbuhan akar sering terganggu.
Gambar 2.
Ilustrasi sederhana penanaman dengan Floating
Hydroponic System
2.1.3 NFT (Nutrient Film Technique)
Hidroponik sistem NFT merupakan salah satu sistem
hidroponik dengan mempergunakan air sebagai medianya, yaitu air yang sudah
mengandung larutan nutrien atau pupuk dialirkan selama 24 jam atau dengan
menentukan jangka waktu tertentu. Akar tanaman terendam sebagian dalam air
tersebut sedalam lebih kurang 3 mm (mirip film). Dengan teknik ini reaksi
tanaman terhadap perubahan formula pupuk dapat segera terlihat. Air yang
mengandung pupuk dialirkan dengan bantuan pompa listrik, jadi listrik harus
tersuplai selama 24 jam.
Sistem ini
dilakukan dengan teknik sebagai berikut.
1. Menyiapkan
bibit tanaman berumur sekitar 2 minggu
2. Menyiapkan rangkaian alat NFT
3. Memberi substrat (kerikil, pecahan batu bata, kertas) di dalam talang
4. Menyalakan pompa air pemompa larutan nutrisi
4. Melubangi sterofoam sesuai jarak tanam
5. Menempatkan tanaman pada lubang sterofoam dengan dibalut spon terlebih
2. Menyiapkan rangkaian alat NFT
3. Memberi substrat (kerikil, pecahan batu bata, kertas) di dalam talang
4. Menyalakan pompa air pemompa larutan nutrisi
4. Melubangi sterofoam sesuai jarak tanam
5. Menempatkan tanaman pada lubang sterofoam dengan dibalut spon terlebih
dahulu agar tidak lepas dari lubang
6. Meletakkan sterofoam pada talang rangakaian NFT tersebut
6. Meletakkan sterofoam pada talang rangakaian NFT tersebut
Pembuatan
skema NFT membutuhkan peralatan yang terdiri dari pipa pralon, besi penyangga,
pompa air, dan talang. Besi penyangga
dibentuk seperti rak dengan kemiringan 5%.
Kemudian talang ditempatkan pada besi penyangga tersebut. Pada ujung
talang yang berada di bawah diberi lubang keluarnya nutrisi. Pralon disambungakan dengan pompa hingga
ujung talang yang berada di atas. Pipa
pralon yang di atas berfungsi sebagai pemasok nutrisi sehingga dibuat
horisontal yang berlubang-lubang seperti air mancur, satu talang terdapat satu
pancuran nutrisi. Pompa berada pada bak penampung keluarnya nutrisi dari
talang.
Keunggulan
dari budidaya NFT yaitu pertumbuhan tanaman lebih baik, karena terdapat
sirkulasi yang baik pada bagian akar dan penggunaan nutrisi lebih efisien. Kekurangan sistem ini yaitu tidak cocok
digunakan pada daerah yang belum dialiri listrik, memerlukan tenaga ahli,
memerlukan kecermatan dan pemantauan aliran nutrisi, butuh supplai listrik
terus menerus, bila terjadi infeksi penyakit terhadap satu tanaman, maka
seluruh tanaman akan tertular dalam waktu singkat, dan butuh investasi awal
besar.
Gambar 3.
Ilustrasi penanaman dengan sistem NFT
2.1.4 Ebb and flow (Sistem Pasang Surut)
Edd and flow atau sistem
hidroponik pasang surut merupakan salah satu sistem budidaya tanaman secara
hidroponik yang dalam pemberian nutrisinya secara pasang surut. Dalam rangkaian
sistem ini dilengkapi denga timer (penghitung waktu) pemberian nutrisi.
Sehingga adakalanya tanaman terendam nutrisi dan adakalanya nutrisi tersebut
surut kembali.
Penanaman dengan sistem ini dilakukan dengan menanam
tanaman di dalam pot dan diletakkan dalam suatu bak. Bak digenangi dan dikeringkan dengan larutan
nutrisi secara bergantian sehingga komposisi larutan nutrisi dan oksigen
seimbang. Cara penggenangan dan
pengeringan dapat dilakukan secara manual, otomatis dengan pengatur waktu
(timer), dan otomatis maupun sensor kadar lengas.
Keunggulan
dari budidaya ebb and flow yaitu
lebih hemat nutrisi dan dapat digunakan sebagai penghias ruangan. Kelemahan dari budidaya ebb and flow yaitu rangkaiannya rumit, membutuhkan tenaga ahli
untuk menanganinya, dan membutuhkan kecermatan lebih tinggi dalam pemeliharaan.
2.1.5 Aeroponik
Aeroponik merupakan cara bercocok tanam dimana akar
tanaman tergantung di udara dan disemprot dengan larutan nutrisi secara terus
menerus.
Kendala dalam budidaya hidroponik pada
umumnya dijumpai pada awal mulai budidaya yang meliputi masalah investasi dan
biaya produksi tinggi. Masalah ini dapat
diatasi dengan pembuatan proposal peminjaman dana usaha ke bank ataupun
instansi lain yang biasa memberi dana talangan.
Permasalahan lain yang biasa dijumpai adalah permasalah teknik lapangan,
seperti keterampilan, keahlian khusus dan disiplin dari pembudidaya. Hal ini menentukan kualitas dan kuantitas
produk yang dihasilkan. Dengan pelatihan
dan budidaya terus menerus, keterampilan, keahlian, dan disiplin dapat
ditingkatkan.
'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
III. BUDIDAYA
TANAMAN SAWI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL
3.1
Botani Singkat Sawi
Sawi
bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari Tiongkok baru kemudian
menyebar ke daerah Asia lainnya. Sawi dikembangkan
di Indonesia karena sawi mempunyai kecocokan iklim, cuaca maupun tanah. Berikut ini merupakan klasifikasi tanaman
sawi.
Divisi :
Spermatophyta
Kelas :
Angiospermae
Sub-kelas
: Dicotyledonae
Ordo :
Papavorales
Famili :
Brassicaceae
Genus :
Brassica
Spesies
: Brassica juncea L.
Sawi termasuk sayuran
yang memiliki perakaran tunggang (radix
primaria), cabang akarnya berbentuk silindris, dan menyebar ke segala arah
dengan kedalaman 30-50 cm. Akar
berfungsi untuk menyerap hara dan air dari dalam tanah dan menguatkan
berdirinya batang tanaman. Sawi memiliki
daun berbentuk lonjong, halus, tidak berbulu, dan tidak berkrop. Pola pertumbuhan daunnya berserak (roset)
hingga sukar membentuk krop. Sawi
umumnya berbunga dan berbiji secara alami di dataran tinggi maupun rendah. Bunga sawi tersusun dalam inflorescentia
(tangkai bunga) yang tumbuh memanjang dan bercabang banyak. Tiap kuntum bunga terdiri atas empat helai
daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat helai
benang sari dan satu buah putik yang berongga dua (Manik, 2011).
3.2
Nilai Ekonomi
Sawi merupakan sayuran
yang memiliki nilai ekonomi tinggi setelah kubis-krop, kubis-bunga, dan
brocolli. Harga sawi di pasaran mencapai
Rp 4.000/kg. Harga sayuran ini bahkan
dapat meningkat 2 kali lipat menjadi Rp 8.000/kg.
3.3
Nilai Gizi
Tanaman sawi sangat
baik untuk kesehatan tubuh. Berikut ini
merupakan kandungan gizi setiap 100 g sawi segar.
Tabel
3. Kandungan gizi setiap 100 g sawi
No
|
Komposisi
|
Jumlah
|
1
|
Kalori
|
22,00 K
|
2
|
Protein
|
2,30 g
|
3
|
Lemak
|
0,30 g
|
4
|
Karbohidrat
|
4,00 g
|
5
|
Serat
|
1,20 g
|
6
|
Kalsium
|
220,50 mg
|
7
|
Fosfor
|
38,40 mg
|
8
|
Besi
|
2,90 mg
|
9
|
Vitamin
A
|
969,00 SI
|
10
|
Vitamin
B1
|
0,09 mg
|
11
|
Vitamin
B2
|
0,10 mg
|
12
|
Vitamin
B3
|
0,70 mg
|
13
|
Vitamin
C
|
102,00 mg
|
Sawi sangat baik untuk
menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita batuk. Penyembuh penyakit kepala, bahan pembersih
darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan
(Manik, 2011).
3.4
Syarat Tumbuh
Sawi dapat tumbuh baik
di hampir semua jenis tanah yaitu tanah-tanah mineral yang bertekstur ringan
sampai liat berat maupun tanah organik seperti tanah gambut. Untuk dapat tumbuh dengan optimal, sawi
membutuhkan tanah dengan pH 6-6,5 dan temperatur lingkungan 15-20oC
dengan penyinaran 10-13 jam per hari.
Suhu udara yang tinggi lebih dari 21oC dapat menyebabkan sawi
hijau tidak dapat tumbuh dengan baik (tumbuh tidak sempurna). Suhu udara yang
tinggi lebih dari batasan maksimal yang dikehendaki tanaman dapat menyebabkan
proses fotosintasis tanaman tidak berjalan sempurna atau bahkan terhenti
sehingga produksi pati (karbohidrat) juga terhenti, sedangkan proses pernapasan
(respirasi) meningkat lebih besar.
Akibatnya produksi pati hasil fotosintsis lebih banyak digunakan untuk
energi pernapasan dari pada untuk pertumbuhan tanaman sehingga tanaman tidak
mampu untuk tumbuh dengan sempurna.
Dengan demikian pada suhu udara yang tinggi sawi hijau pertumbuhannya
tidak subur, tanaman kurus, dan produksinya rendah, serta kualitas daun juga
rendah.
Tanaman sawi dapat
tumbuh di lahan dengan ketinggian 100 - 1.000 m dpl. Lokasi penanamannya harus terbuka dan
drainase air lancar. Sawi termasuk
tanaman yang tahan dengan curah hujan tinggi, yaitu 1000-1500 mm/tahun. Oleh karena itu, penanaman sawi pada curah
hujan tinggi dapat memberi efek yang baik bagi pertanaman sawi. Tetapi tanaman sawi tidak tahan terhadap
penggenangan.
Tanaman sawi optimal
tumbuh pada kelembaban 80%-90%. Kelembapan yang tinggi tidak sesuai dengan yang
dikehendaki tanaman karena akan menyebabkan mulut daun (stomata) tertutup
sehingga penyerapan gas karbondioksida (CO2) terganggu. Dengan demikian kadar gas CO2
tidak dapat masuk ke dalam daun, sehingga kadar gas CO2 yang
diperlukan tanaman untuk fotosintesis tidak memadai. Akhirnya proses fotosintsis tidak berjalan
dengan baik sehingga semua proses pertumbuhan pada tanaman menurun (Manik,
2011).
3.5
Teknik Budidaya Konvensional
Mayoritas petani
Indonesia masih menggunakan teknik budidaya konvensional sebagai cara untuk
pembudidayaan sawi. Berikut ini
merupakan tahapan budidaya sawi secara konvensional menurut Rieuwpassa (2013).
3.5.1
Pemilihan Benih
Benih yang baik adalah
benih yang memiliki daya tumbuh lebih dari 95%, vigor murni, bersih, dan sehat. Kebutuhan benih sawi adalah 450-600 g/ha.
3.5.2
Pembibitan
Sawi termasuk jenis
tanaman yang membutuhkan pembibitan terlebih dahulu karena sawi muda sangat
rapuh terhadap cekaman lingkungan.
Pembibitan dapat dilakukan dalam bedengan kecil berukuran 0,5 x 1 m2
(sesuaikan dengan luas lahan yang akan ditanam) atau dalam wadah plastik. Media tanam untuk pembibitan merupakan tanah
yang telah dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1. Pembibitan ini dipilih pada lokasi yang teduh
atau ternaung.
Sebelum disemai, benih
sawi direndam air terlebih dahulu selama ± 2 jam. Perendaman ini bertujuan untuk seleksi benih
bernas dan benih hampa. Benih bernas
akan tenggelam jika direndam dalam air.
Benih inilah yang akan digunakan untuk pembibitan. Benih disebar secara merata di atas bedeng
persemaian ataupun wadah plastik.
Setelah itu, benih disiram sampai basah dan ditutup dengan daun pisang
atau karung goni selama 2-3 hari. Bibit
yang siap dipindah tanam adalah bibit yang telah berumur 2-3 minggu setelah
semai.
3.5.3
Pengolahan Tanah
Lahan yang akan
digunakan dicangkul sedalam 20-30 cm hingga gembur. Setelah itu dibuat guludan dengan tingi 20-30
cm, lebar 1 m, dan panjang disesuaikan dengan bentuk atau ukuran lahan. Jarak antarbedengan sekitar 40 cm atau
disesuaikan dengan keadaan tanah.
Setelah tanah rata, permukaan bedengan diberi pupuk kandang yang sudah
matang dengan dosis 100 kg/100 m2.
Semprot larutan pupuk cair 10 ml/ liter air pada permukaan bedengan,
kemudian permukaan bedengan ditutup dengan tanah. Setelah 3 hari, bedengan siap untuk ditanami.
3.5.4
Penanaman
Bedeng-bedeng yang
telah siap tanam dibuat lubang tanam dengan jarak tanam 15 x 20 cm. Tiap lubang tanam diberi 1-2 anakan. Kemudian bedengan yang sudah ditanami,
disiram hingga basah.
3.5.5
Perawatan
Perawatan tanaman sawi
dilakukan dengan melakukan penyiraman rutin setiap hari pada pagi dan sore atau
disesuaikan dengan kondisi curah hujan.
Penyiangan gulma perlu dilakukan untuk mencegah kompetisi gulma dan tanaman. Pengendalian hama dan penyakit tanaman
dilakukan jika serangan hama maupun patogen sudah mencapai ambang ekonomi. Pengendalian dapat dilakukan secara mekanik,
hayati, maupun dengan pestisida kimia dan nabati.
3.5.6
Pemanenan
Tanaman sawi siap
dipanen setelah berumur 30-35 hari. Sawi
siap panen ditandai dengan ukuran daunnya yang sudah mencapai maksimal. Pemanenan dilakukan dengan mencabut atau
memotong bagian pangkal batang. Biasanya
sawi disortasi dengan cara mencabuti bagian daun yang rusak. Kemudian caisim diikat
bagian akarnya, dan digabungkan dengan yang lain lalu diikat dengan tali
bambu. Sawi yang baru dipanen sebaiknya
segera diletakkan di tempat teduh agar tidak cepat layu. Kesegaran sawi dapat dipertahankan dengan
memerciki sawi dengan air. Panen yang
terlambat menyebabkan sawi cepat berbunga.
3.6
Permasalahan Lapang
Permasalahan
lapang yang sering dihadapi dalam budidaya sawi secara konvensional antara
lain:
1.
Tanaman yang ditanam secara konvensional
memiliki sedikit kemungkinan dapat mengaktualisasi potensi genetiknya
menghasilkan produksi mendekati maksimal.
Hal ini karena lingkungan tumbuh tanaman di lapangan sering kali tidak
berada dalam kondisi optimum.
2.
Tidak dapat tumbuh dengan baik sepanjang
tahun. Tanaman sawi tumbuh baik pada
kondisi curah hujan cukup banyak karena tanaman sayuran menyukai air yang
banyak. Pada kondisi kemarau,
ketersediaan air terbatas sehingga tanaman tidak tumbuh maksimal.
3.
Serangan hama dan penyakit tanaman. Crocidolomia
binotalis Zell., Plutella
maculipennis, Thepa javanica, Agrotis ipsilon, dan Agriolimax sp. menjadi hama utama pada
tanaman sawi sedangkan penyakit yang biasa menyerang sawi adalah puru akar (Plasmodiophora barassicae), bercak daun
alternaria, busuk basah (soft rot),
rebah semai (dumping off), dan embun
upas (Haryanto dkk. 2007). Hama dan
penyakit ini dapat menurunkan kualitas produksi sawi hingga 50%.
4.
Pestisida. Pada umumnya penanaman sawi konvensional
belum terbebas dari pestisida, baik insektisida, bakterisida, fungisida, maupun
herbisida. Insektisida, bakterisida, dan
fungisida biasanya digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman. Sedangkan herbisida digunakan untuk
pengendalian gulma. Pestisida dapat
menimbulkan residu pada tanaman. Efek
jangka panjang residu pestisida adalah menimbulkan kanker bagi konsumen.
5.
Lahan yang luas. Budidaya sawi konvensional secara besar
membutuhkan lahan yang relatif luas.
6.
Memerlukan banyak tenaga kerja. Budidaya sawi secara konvensional membutuhkan
banyak tenaga kerja untuk pengolahan lahan, penanaman, perawatan, hingga
pemanenan. Semakin luas lahan yang
digunakan untuk produksi, semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan.
3.7
Produksi Rata-Rata
Dengan budidaya sawi
yang benar, pemenuhan unsur hara yang tepat, dan rendahnya serangan hama dan
penyakit tanaman, produksi sawi secara konvensional dapat mencapai 20-25
ton/hektar (Hidajati, 2014).
'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''
IV. BUDIDAYA TANAMAN SAWI DENGAN SISTEM AEROPONIK
4.1 Pengertian Aeroponik
Aeroponik berasal dari
kata aero yang berarti udara dan ponus yang berarti daya. Jadi
aeroponik adalah memberdayakan udara.
Aeroponik merupakan salah satu tipe hidroponik karena air yang berisi
larutan hara disemburkan dalam bentuk kabut hingga mengenai akar tanaman. Salah satu kunci keunggulan aeroponik adalah
oksigenasi dari tiap butiran kabut halus larutan hara sehingga respirasi akar
lancar dan menghasilkan banyak energi. Sistem
aeroponik dapat memberikan manfaat bagi petani, khususnya petani yang memiliki
lahan terbatas. Petani dapat menanam
tanaman di pekarangan rumahnya karena dengan metode aeroponik tanaman ditanaman
cukup dengan media yang berupa sterofom.
Prinsip aeroponik adalah helaian
sterefom diberi lubang-lubang tanam dengan jarak ±15 cm. Dengan menggunakan ganjal busa, anak semai
sayuran ditancapkan pada lubang tanam tersebut.
Akar tanaman akan menjuntai ke bawah.
Di bawah helaian sterofom terdapat sprinkler (pengkabut) yang
memancarkan kabut larutan hara ke atas sehingga mengenai akar (Sutiyoso, 2003).
4.2
Teknik Aeroponik
4.2.1
Persiapan Alat dan Bahan
Pelaksanaan budidaya
aeroponik sebaiknya dilakukan di dalam greenhouse. Greenhouse
digunakan untuk melindungi tanaman dari gangguan luar seperti cahaya matahari,
hujan, angin, maupun hama dan penyakit tanaman.
Greenhouse dapat berupa
bangunan yang atapnya terbuat dari plastik, net plastik hitam, dan kasa. Setelah greenhouse tersedia, tahapan
selanjutnya adalah menyiapkan sarana irigasi.
Irigasi merupakan hal terpenting dalam teknik budidaya ini karena sumber
hara untuk tanaman akan dialirkan melalui teknis irigasi. Alat yang dibutuhkan untuk irigasi adalah
stryrofoam, tong sebagai wadah nutrisi, tendon larutan, paralon, selang PE, bak
tanaman, pompa air, sprinkler, timer, filter dan generator.
Sebagai tambahan, dapat
pula disediakan EC-meter (alat pengukur kepekatan hara larutan), TDS-meter
(pengukur jumlah bobot garam-garam terlarut), pH meter (pengukur derajat
kemasaman larutan), Oksigen-meter (pengukur kadar oksigen), Hygrometer
(pengukur kelembaban), dan Termometer (pengukur temperature ruangan).
4.2.2
Persiapan Tanaman
Persiapan bibit untuk
budidaya aeroponik tidak jauh berbeda dengan budidaya konvensional. Media semai berupa arang sekam, bubuk sabut
kelapa, kompos, dan tanah gembur. Tebal media di nampan semai sekitar 4 cm
(diperkirakan cukup sebagai tempat berkembangnya akar). Benih sawi ditanam dalam barisan dan di
atasnya ditutup arang sekam setebal 0,5 cm.
Nampan semai diletakkan di tempat yang teduh dan penyiraman dilakukan
rutin satu kali sehari. Bibit hasil
semaian dapat dipindah ke media aeroponik setelah bibit berumur 10-14
hari. Sebelum dipindah ke media
aeroponik, akar sawi dibersihkan dan dicucui dari arang sekam. Bagian hipokotilnya dibungkus dengan busa
atau rockwool. Bibit sawi yang sudah dicabut, sebaiknya
segera dipindahkan agar tanaman tidak mengalami kekeringan.
4.2.3
Pelaksanaan Sistem Aeroponik
Pelaksanaan mendasar
dari sistem aeroponik adalah pemasangan rangkaian yang sedikit rumit. Prinsip aeroponik secara detail dijelaskan
pada uraian berikut ini.
Stryrofoam yang
digunakan berwarna putih, panjang 2 m, lebar 1 m dan tebal 3 cm. Stryrofoam
dibor diameter 1,5 cm dengan jarak tanam
15 x 15 cm sehingga populasi yang diperoleh 44 tanaman/m2 atau 88
tanaman/helai stryrofoam. Bibit yang berumur 12 hari dimasukkan ke dalam lubang
tanam yang dibantu dengan busa atau rockwool.
Sekitar 30 cm di bawah helai stryrofoam dipasang selang PE diameter 19 mm. Tiap 80 cm selang
PE ditancapi sprinkler spray jet warna
hijau dengan curah (flowrate) 0,83
l/menit atau setara dengan 50b/jam dan bertekanan 1,5-2 atmosfir pada lubang
sprinkler. Tenaga untuk mendorong
digunakan pompa dengan daya listrik (watt) antara 800-1.600 W dan dengan debit
200-240 l/m. pompa yang sedemikian kuatnya dapat melayani 100-150 sprinkler
atau setara lahan produksi sekitar 200 m2. Tekanan pompa min 1.5 atm, opt 2 atm (diukur
dengan manometer). Mengatur tekanan
pompa perlu memperhitungkanhambatan-hambatan yang ada dalam penyaluran aliran.
Misalnya, pompa berada tepat di permukaan tanah, sedangkan semua sprinkler
berada pada 60 cm di atas permukaan tanah. Tenaga untuk menaikkan 60 cm keatas
merupakan hambatan yang akan mengurangi tekanan dan harus diperhitungkan.
Selain itu, adanya percabangaan T, siku (elbow) pada belokan, dan keran (ballvalve) juga dapat mengurangi tekanan. Pipa penyalur yang kecil akan menghasilkan
gesekan aliran larutan dengan dinding pipa sehingga lebih baik menggunakan pipa
atau selang berukuran agak besar untuk mengurangi gesekan. Filter digunakan untuk mengurangi kotoran
yang dapat menyumbat lubang sprinkler. Terdapat beberapa macam ukuran filter
dari yang kecil, sedang dan besar. Ukuran tersebut menggambarkan jumlah liter
aliran yang dapat dilalui per jam. Pancaran kekuatan tinggi akan membentuk
kabut butiran halus dengan jarak tembak lebih dari satu meter, dengan
turbulensi tinggi dan akan mengambang lama di udara sehingga dapai mengenai
seluruh sistem perakaran (Sutiyoso, 2003).
Gambar 4. Ilustrasi budidaya sawi dengan aeroponik
Gambar 5. Akar tanaman sawi pada bubidaya aeroponik
4.3 Perbandingan Budidaya Aeroponik
dengan Konvensional
Budidaya
tanaman dengan aeroponik dan konvensiona tidak hanya berbeda dari segi media
tanam. Perbandingan sistem aeroponik
dengan konvensional disajikan pada tabel di bawah ini.
Tabel
4. Perbedaan budidaya tanaman secara aeroponik dan konvensional
ITEM
|
AEROPONIK
|
KONVENSIONAL
|
Kebutuhan lahan
|
Luasan yang sempit
masih bisa digunakan, kontur lahan tidak harus datar, produktifitas lahan
tinggi
|
Harus luas, realatif datar, perlu
rotasi, produktifitas lahan tergantung jenis tanah
|
Musim
|
Tidak tergantung
musim.
|
Tergantung musim
|
Ketersediaan barang
|
Ada sepanjang tahun
|
Tidak selalu ada
sepanjang tahun
|
Kualitas barang
|
Bersih, sehat,
renyah, aroma kurang
|
Tidak selalu bersih,
belum tentu sehat, relatif liat/alot, aroma kuat
|
Sarana &
prasarana
|
Butuh green house,
suplai listrik yang relative besar,
|
Tidak butuh sarana
yang mahal
|
Teknologi
|
Teknologi
menengah-tinggi
|
Teknologi sederhana
|
Operator
|
Harus mengerti
teknologi, sedikit orang
|
Tidak perlu mengerti
teknologi, banyak orang
|
Investasi awal
|
Sedang – besar
|
Kecil – sedang
|
Waktu
|
Pendek (1 bulan
panen), tanpa pengolahan lahan, setiap hari tanam-setiap hari panen
|
Sedang-panjang (1,5 –
2 bulan panen), ada waktu untuk pengolahan lahan, tidak bisa setiap saat
tanam dan panen
|
Kepenuhan nutrisi
|
Terpenuhi karena kita
bisa mengaturnya dengan ukuran (formula) yang pasti.
|
Tidak selalu
(pemenuhan kebutuhan nutrisi sulit diukur dengan tepat)
|
Hama dan penyakit
|
Relatif aman,
terlindung oleh green house
|
Beresiko karena ruang
terbuka
|
Fleksibilitas
|
Tanaman dapat
dipindah-pindah tanpa tanpa mengganggu pertumbuhan; contoh: pada saat pompa
air mati, tanaman dapat dipindah ke unit produksi yang lain.
|
Tanaman tidak bisa
dipindah-pindah, tanaman akan stress.
|
Kecepatan adaptasi
|
Saat pindah tanam,
bibit bisa langsung tumbuh tanpa aklimatisasi lama
|
Aklimatisasi lama
|
Dilihat dari banyak
faktor di atas, budidaya menggunakan sistem aeroponik mempunyai peluang besar
menghasilkan produksi yang lebih bagus dan lebih banyak daripada dengan
menggunakan sistem konvensional.
Penelitian Ulfa (2013), menunjukkan bahwa sistem budidaya aeroponik
dapat meningkatkan produksi hingga 10 kali lipat. Keuntungan yang diperoleh dari budidaya ini
bukan sebatas pada peningkatan kuantitas melainkan juga pada kualitas produk
yang dihasilkan. Kalangan menengah ke
atas menjadi konsumen setia pada setiap produk yang dihasilkan dengan budidaya
aeroponik.
Salah satu kunci
keunggulan menanam tanaman sawi ataupun tanaman sayur lainnya dengan
menggunakan sistem aeroponik adalah oksigenasi dari tiap butiran kabut halus
larutan hara yang sampai ke akar. Selama
perjalanan dari lubang sprinkler hingga sampai ke akar, butiran akan menambat
oksigen dari udara hingga kadar oksigen terlarut dalam butiran meningkat. Dengan demikian proses respirasi pada akar
dapat berlangsung lancar dan menghasilkan banyak energi sehingga pertumbuhan
tanaman meningkat. Selain itu, dengan
pengelolaan yang terampil, produksi dengan sistem aeroponik apat memenuhi
kualitas, kuantitas, dan kontinuitas (Sutiyoso, 2003).
V. KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Teknik
hidroponik meliputi hidroponik substrat, rakit apung, NFT, ebb and flow, dan aeroponik.
2. Budidaya
sawi dengan aeroponik dilakukan dengan pemberian hara ke tanaman sawi dengan
pengkabutan.
3. Budidaya
sawi dengan aeroponik lebih menguntungkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas
dibandingkan budidaya konvensional.
DAFTAR PUSTAKA
BP3K
Bansari. 2010. Formula Larutan
Hidroponik/Aeroponik A+B. Badan Penelitian Pengembanan
Pendidikan dan Kebudayaan Bansari. Temanggung. Jawa Tengah.
Haryanto,
E., T. Suhartini, E. Rahayu, dan H. Sunarjono. 2007. Sawi dan Selada. Jakarta: Penebar Swadaya.
Hidajati,
W. 2014. Varietas dan Persemaian Benih
Sawi Caisim (Brassica rapa cv.
Caisim) dan Pakcoy (Brassica parachinensis) dengan Teknologi EMP. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/varietas-dan-persemaian-benih-sawi-caisim-brassica-rapa-cv-caisim-dan-pakcoy-brassica-par.
Diakses pada 4 November 2014.
Leo.
2009. Aeroponik.
http://aeroponik-leo.blogspot.com/. Diakses pada 7 November 2014.
Lingga,
P. 2004. Hidroponik: Bercocok Tanam Tanpa
Tanah. Jakarta: Penebar Swadaya.
Manik,
S.H. 2011. Pemanfaatan Pupuk Organik
Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi (Brassica juncea
L.) Varietas Tosakan dan Dora.
(Skripsi). Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian. Universitas
Sumatera Utara.
Rieuwpassa,
A.J. 2013. Teknologi Budidaya Sawi. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Maluku.
Sutiyoso, Y. 2003.
Aeroponik Sayuran. Budidaya dengan Sistem Pengabutan. Jakarta: Penebar Swadaya.
Ulfa,
F. 2013. Peran Senyawa Bioaktif Tanaman
sebagai Zat Pengatur Tumbuh dalam Memacu Produksi Umbi Mini Kentang (Solanum
tuberosum L.) pada Sistem Budidaya
Aeroponik. Program Studi Ilmu Tanaman. Universitas Hasanuddin. Makassar.
Komentar