Langsung ke konten utama

Postingan Terbaru

Berkunjung ke Desa Adat Baduy Dalam

Desa adat selalu jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi, pun dengan suku Baduy. Akhir Desember 2018, aku pun nekat untuk datang ke sana. Awalnya aku ikut jasa open trip karena jika dilihat dari harga yang mereka tawarkan, rasa-rasanya lebih murah dibanding datang sendiri. Aku bahkan sudah membayar DP untuk dua orang. Sayangnya satu minggu sebelum hari H, travel dibatalkan karena hujan lebat cuaca buruk katanya. Uang kami pun di- refund . Aku dan temanku tetap nekat untuk datang ke Baduy. Hari itu perjalanan aku mulai dari stasiun Pasar Minggu dan bertemu dengan temanku di stasiun Palmerah. Kami berangkat bersama menuju stasiun Rangkas Bitung. Ongkos dengan KRL dari stasiun Pasar Minggu hanya Rp10.000,00. Sampai di stasiun Rangkas Bitung, kami bergerak mencari angkot nomor 07 tujuan terminal Aweh. Di stasiun ini sebenarnya ada banyak jasa travel menawarkan diri langsung menuju desa Ciboleger. Untuk yang datang dengan banyak orang, mungkin ini bisa jadi pilihan simpel namun untuk aku

MENINGKATKAN KUANTITAS DAN KUALITAS PRODUKSI TANAMAN SAWI DENGAN BUDIDAYA TEKNOLOGI AEROPONIK









MENINGKATKAN KUANTITAS DAN KUALITAS PRODUKSI TANAMAN SAWI DENGAN BUDIDAYA TEKNOLOGI AEROPONIK
(Makalah Mata Kuliah Budidaya Nir Tanah)







Oleh

Kelompok 10

Akbar Fadhilah
1114121015
Habiba Nurul Istiqomah
1114121095
Lita Andryyani
1114121121
Malida Rahmawati
1114121125
Oktaviolentina
1114121149















JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014


 '''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''



I.     PENDAHULUAN




1.1    Latar Belakang


Hidroponik adalah suatu istilah yang digunakan untuk bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai media tumbuhnya.  Tanaman dapat ditanam dalam pot atau wadah lainnya dengan menggunakan air dan atau bahan - bahan porous lainnya, seperti kerikil, pecahan genting, pasir, pecahan batu ambang, dan lain sebagainya sebagai media tanamnya.  Zat makanan atau unsur-unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman disuplai langsung ke dalam air yang digunakan berupa larutan campuran pupuk.  Campuran pupuk ini dapat diperoleh dari hasil ramuan sendiri garam-garam mineral dengan formulasi yang telah ditentukan atau menggunakan pupuk buatan yang sudah siap pakai.

Bertanam secara hidroponik telah dimulai ribuan tahun yang lalu. Menurut cerita, ada taman gantung di Babilon dan taman terapung di Cina yang bisa disebut sebagai contoh Hidroponik. Lebih lanjut diceritakanpula, di Mesir, India dan Cina, manusia purba sudah kerap menggunakan larutan pupuk organik untuk memupuk semangka, mentimun dan sayuran lainnya dalam bedengan pasir di tepi sungai.  Cara bertanam seperti ini kemudian disebut river bed cuultivation.  Ketika ahli patologis tanaman menggunakan nutrien khusus untuk media tanam muncullah istilah nutri culture. Setelah itu, bermunculan istilah water culture, solution culture dan gravel bed culture untuk menyebutkan hasil percobaan mereka yang menanam sesuatu tanpa menggunakan tanah sebagai medianya. Terakhir pada tahun 1936 istilah hidroponik lahir, istilah ini diberikan untuk hasil dari Dr. WF. Gericke, seorang agronomis dari Universitas California, USA, berupa tanaman tomat setinggi 3 meter yang penuh buah dan ditanam dalam bak berisi mineral hasil uji cobanya.  Sejak itu, hidroponik yang berarti hydros adalah air dan ponics untuk menyebut pengerjaan atau bercocok tanam, dinobatkan untuk menyebut segala aktivitas bercocok tanam tanpa menggunakan tanah sebagai tempat tumbuhnya.  Gericke ini menjadi sensasi saat itu, foto dan riwayat kerjanya menjadi headline surat kabar, bahkan ia sempat dinobatkan menjadi orang berjasa abad 20. Sejak itu, hidroponik tidak lagi sebatas skala laboratorium, tetapi dengan teknik yang sederhana dapat diterapkan oleh siapa saja termasuk ibu rumah tangga. Jepang yang kalah dari sekutu dan tanahnya tandus akibat bom atom, pada tahun 1950 secara gencar menerapkan hidroponik. Kemudian negara lain seperti irak, Bahrain dan negara-negara penghasil minyak yang tanahnya berupa gurun pasir dan tandus pun ikut menerapkan hidroponik (Lingga, 2004).

Aeroponik merupakan salah satu cara budidaya tanaman hidroponik. Menurut Leo (2009), cara ini belum sefamiliar cara-cara hidroponik lainnya (seperti cara tetes dan Nutrient Film Technique). Kalau dilihat dari kata-kata penyusunnya, yaitu terdiri dari Aero  dan Phonic. Aero berarti udara, phonic artinya cara budidaya, arti secara harafiah cara bercocok tanam di udara, atau bercocok tanam dengan sistem pengkabutan, dimana akar tanamannya menggantung di udara tanpa media (misalkan tanah), dan kebutuhan nutrisinya dipenuhi dengan cara spraying ke akarnya.

Teknik hidroponik banyak dilakukan dalam skala kecil sebagai hobi di kalangan masyarakat Indonesia. Pemilihan jenis tanaman yang akan dibudidayakan untuk skala usaha komersial harus diperhatikan, karena tidak semua hasil pertanian bernilai ekonomis. Jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk dibudidayakan di hidroponik yaitu, paprika, tomat, timun jepang, melon, selada dan sawi.  Salah satu jenis sayur yang mudah dibudidayakan adalah tanaman sawi. Sayuran berdaun hijau ini termasuk tanaman yang tahan terhadap air hujan, dan dapat dipanen sepanjang tahun tidak tergantung dengan musim. Masa panenpun juga terbilang cukup pendek, setelah 40 hari ditanam sawi sudah dapat dipanen.isamping kemudahan dalam proses budidaya, sayur sawi juga banyak dijadikan sebagai peluang bisnis karena peminatnya yang cukup banyak. Permintaan pasarnya juga cukup stabil, sehingga resiko kerugian petani sangat kecil.

Penambahan jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan peningkatan luasan lahan pertanian menuntut adanya solusi khusus untuk peningkatan produksi pertanian dengan lahan sempit, termasuk produksi sawi.  Selain itu, kini konsumen semakin cerdas dalam pemilihan sayuran sawi untuk konsumsi.  Terdapat 3 aspek yang harus dipenuhi petani untuk dapat memenuhi permintaan konsumen, yaitu kualitas, kontinuitas dan produktifitas (Leo, 2009).  Penanaman dengan budidaya hidroponik adalah salah satu solusinya.  Hidroponik lebih unggul dibanding budidaya konvensional karena hanya membutuhkan luasan lahan yang sempit, tidak membutuhkan rotasi tanaman, tanaman dapat ditanam sepanjang tahun, dapat mengaktualisasi potensi genetik tanaman, dan hemat tenaga kerja.


1.2    Tujuan


Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut.
1.        Mengetahui jenis-jenis hidroponik.
2.        Mengetahui teknik budidaya sawi dengan budidaya aeroponik.
3.        Mengetahui perbandingan antara teknik budidaya aeroponik dan konvensional tanaman sawi.


 '''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''




II.  BUDIDAYA TEKNOLOGI HIDROPONIK




2.1   Macam Hidroponik dan Sistem Pemberian Hara


Secara umum hidroponik diartikan sebagai teknik budidaya yang tidak menggunakan tanah sebagai media tanamnya.  Secara khusus, hidroponik merupakan teknik budidaya menggunakan air sebagai media tanamnya.  Beberapa teknik hidroponik, yaitu hidroponik substrat, rakit apung, NFT, ebb and flow, dan aeroponik.  Penjelasan mengenai masing-masing sistem diuraikan di bawah ini.

2.1.1        Sistem Hidroponik Substrat


Sistem hidroponik substrat merupakan metode budidaya tanaman dimana akar tanaman tumbuh pada media porus selain tanah yang dialiri larutan nutrisi sehingga memungkinkan tanaman memperoleh air, nutrisi, dan oksigen secara cukup.
Teknik yang digunakan dalam budidaya hidroponik substrat antara lain :
1.      Memilih substrat yang sesuai dengan tanaman yang akan dibudidayakan. Misalnya: arang sekam, pasir, pecahan batu bata
2.      Bila menggunakan lebih dari satu macam substrat, maka harus dilakukan perbandingan yang sesuai. Misalnya sustrat pasir dan arang sekam dengan perbandingan 1:1
3.      Memasukkan substrat pada pot/polybag
4.      Menanam bibit tanaman yang disediakan pada pot/polybag
5.      Merendam pot/polybag tersebut dalam wadah yang berisi nutrisi sedalam ± 5 cm
Sistem hidroponik substrat ini memiliki keunggulan dan kelemahan dibanding system lainnya.  Keunggulannya yaitu tanaman dapat berdiri lebih tegak, kebutuhan nutrisi mudah untuk dipantau, dan biaya operasional tidak terlalu besar.  Sedangkan kekurangan sistem ini antara lain populasi tanaman tidak terlalu banyak, terlalu banyak menggunakan wadah, dan mudah ditumbuhi lumut.




Gambar 1. Contoh penanaman sawi dengan sistem hidroponik subtrat


2.1.2         Rakit Apung (FHS)


Rakit apung atau Floating Hydroponic System (FHS) adalah salah satu sistem budidaya secara hidroponik tanaman (sayuran, terutama) dengan cara menanam tanaman pada lubang styrofoam yang mengapung di atas permukaan larutan nutrisi dalam bak penampung atau kolam sehingga akar tanaman terendam dalam larutan nutrisi. Pada sistem ini larutan tidak disirkulasikan, namun dibiarkan tergenang dan ditempatkan dalam suatu wadah tertentu untuk menampung larutan tersebut, sehingga sangat cocok digunakan di daerah yang belum dialiri listrik.
Budidaya tanaman dengan sistem ini dilakukan dengan menyiapkan bibit tanaman berumur sekitar 2 minggu kemudian melubangi sterofoam sesuai jarak tanam.  Tanaman yang sudah siap ditanam pada lubang sterofoam dengan dibalut spon terlebih dahulu agar tidak lepas dari lubang.  Sterofoam tersebut diletakkan pada bak apung yang telah diberi larutan nutrisi

Bak apung dapat berbentuk permanen atau plastik. Lebar dan panjang sterofoam disesuaikan dengan bak sampai seluruh permukaan nutrisi sebisa mungkin tertutup oleh sterofoam.  Hal ini untuk menanggulangi tumbuhnya lumut di dalam nutrisi tersebut.  Jarak tanam juga disesuaikan dengan lebar dan panjang sterofoam dan populasi tanaman yang diinginkan.

Keunggulan dari budidaya hidroponik rakit apung yaitu dapat memanfaatkan lahan sempit, merupakan sistem hidroponik yang paling mudah dan sederhana, tidak memerlukan keahlian mendalam, dan lebih hemat listrik.  Sedangkan kekurangan budidaya dengan sistem ini adalah memungkinkan tanaman kekurangan oksigen, cepat terjadi peningkatan suhu, memerlukan pemantauan pH dan kepekatan lebih rutin, dan pertumbuhan akar sering terganggu.




Gambar 2. Ilustrasi sederhana penanaman dengan Floating Hydroponic System


2.1.3  NFT (Nutrient Film Technique)


Hidroponik sistem NFT merupakan salah satu sistem hidroponik dengan mempergunakan air sebagai medianya, yaitu air yang sudah mengandung larutan nutrien atau pupuk dialirkan selama 24 jam atau dengan menentukan jangka waktu tertentu. Akar tanaman terendam sebagian dalam air tersebut sedalam lebih kurang 3 mm (mirip film). Dengan teknik ini reaksi tanaman terhadap perubahan formula pupuk dapat segera terlihat. Air yang mengandung pupuk dialirkan dengan bantuan pompa listrik, jadi listrik harus tersuplai selama 24 jam.

Sistem ini dilakukan dengan teknik sebagai berikut.
1.  Menyiapkan bibit tanaman berumur sekitar 2 minggu
2.  Menyiapkan rangkaian alat NFT
3.  Memberi substrat (kerikil, pecahan batu bata, kertas) di dalam talang
4.  Menyalakan pompa air pemompa larutan nutrisi
4.  Melubangi sterofoam sesuai jarak tanam
5.  Menempatkan tanaman pada lubang sterofoam dengan dibalut spon terlebih     
dahulu agar tidak lepas dari lubang
6.  Meletakkan sterofoam pada talang rangakaian NFT tersebut

Pembuatan skema NFT membutuhkan peralatan yang terdiri dari pipa pralon, besi penyangga, pompa air, dan talang.  Besi penyangga dibentuk seperti rak dengan kemiringan 5%.  Kemudian talang ditempatkan pada besi penyangga tersebut. Pada ujung talang yang berada di bawah diberi lubang keluarnya nutrisi.  Pralon disambungakan dengan pompa hingga ujung talang yang berada di atas.  Pipa pralon yang di atas berfungsi sebagai pemasok nutrisi sehingga dibuat horisontal yang berlubang-lubang seperti air mancur, satu talang terdapat satu pancuran nutrisi. Pompa berada pada bak penampung keluarnya nutrisi dari talang.

Keunggulan dari budidaya NFT yaitu pertumbuhan tanaman lebih baik, karena terdapat sirkulasi yang baik pada bagian akar dan penggunaan nutrisi lebih efisien.  Kekurangan sistem ini yaitu tidak cocok digunakan pada daerah yang belum dialiri listrik, memerlukan tenaga ahli, memerlukan kecermatan dan pemantauan aliran nutrisi, butuh supplai listrik terus menerus, bila terjadi infeksi penyakit terhadap satu tanaman, maka seluruh tanaman akan tertular dalam waktu singkat, dan butuh investasi awal besar.


Gambar 3. Ilustrasi penanaman dengan sistem NFT



2.1.4  Ebb and flow (Sistem Pasang Surut)

Edd and flow atau sistem hidroponik pasang surut merupakan salah satu sistem budidaya tanaman secara hidroponik yang dalam pemberian nutrisinya secara pasang surut. Dalam rangkaian sistem ini dilengkapi denga timer (penghitung waktu) pemberian nutrisi. Sehingga adakalanya tanaman terendam nutrisi dan adakalanya nutrisi tersebut surut kembali.

Penanaman dengan sistem ini dilakukan dengan menanam tanaman di dalam pot dan diletakkan dalam suatu bak.  Bak digenangi dan dikeringkan dengan larutan nutrisi secara bergantian sehingga komposisi larutan nutrisi dan oksigen seimbang.  Cara penggenangan dan pengeringan dapat dilakukan secara manual, otomatis dengan pengatur waktu (timer), dan otomatis maupun sensor kadar lengas.

Keunggulan dari budidaya ebb and flow yaitu lebih hemat nutrisi dan dapat digunakan sebagai penghias ruangan.  Kelemahan dari budidaya ebb and flow yaitu rangkaiannya rumit, membutuhkan tenaga ahli untuk menanganinya, dan membutuhkan kecermatan lebih tinggi dalam pemeliharaan.

2.1.5  Aeroponik


Aeroponik merupakan cara bercocok tanam dimana akar tanaman tergantung di udara dan disemprot dengan larutan nutrisi secara terus menerus.  Prinsip dari aeroponik adalah mulanya helaian Styrofoam diberi lubang-lubang tanam dengan jarak 15 cm. dengan menggunakan ganjal busa atau rockwool, anak semai sayuran ditancapkan pada lubang tanam tersebut. Akar tanaman akan menjuntai bebas ke bawah. Di bawah helaian Styrofoam, terdapat sprinkler (pengabut) yang memancarkan kabut larutan hara ke atas hingga mengenai akar.

Salah satu kunci keunggulan budidaya aeroponik ialah oksigenasi dari tiap butiran kabut halus larutan hara yang sampai ke akar. Selama perjalanan dari lubang sprinkler hingga sampai ke akar, butiran akan menambat oksigen dari udara hingga kadar oksigen terlarut dalam butiran meningkat. Dengan demikian proses respirasi pada akar dapat berlangsung lancar dan menghasilkan banyak energi. Selain itu dengan pengelolaan yang terampil, produksi dengan sistem aeroponik dapat memenuhi kualitas, kuantitas dan kontinuitas.


2.2      Formula Larutan Hidroponik


Formula larutan yang biasa digunakan dalam budidaya hidroponik adalah formula larutan AB mix.  Larutan ini dapat dibedakan untuk masa vegetatif dan generatif tanaman.  Berikut ini merupakan formula untuk masa vegetatif dan generatif tanaman menurut BP3K Bansari (2010).


Tabel 1. Formula larutan pekat A dan B pada masa vegetatif tanaman untuk 5 liter larutan


Larutan Pekat A
Larutan Pekat B
Senyawa
Bobot (g)
Senyawa
Bobot (g)
CaNO3
660
KPO4
270
KNO3
625
NO3SO4
90
Librel RMX micro nutriens
40
K2SO4
35


MgSO4
630



Tabel 2. Formula larutan pekat A dan B pada masa generatif tanaman untuk 5 liter larutan


Larutan Pekat A
Larutan Pekat B
Senyawa
Bobot (g)
Senyawa
Bobot (g)
CaNO3
880
KPO4
450
KNO3
470
NO3SO4
20
Librel RMX micro nutriens
40
K2SO4
150


MgSO4
850


Setelah larutan A dan B dicampur, sebaiknya dilakukan pengukuran pH dengan kisaran 5,5-6,5 (optimal 6,0).  Penurunan pH dapat dilakukan dengan menambahkan asam kuat (HNO3, H2SO4, HPO4) sedangkan untuk menaikkan pH dapat dilakukan dengan penambahan alkali kuat (KOH).


2.3      Permasalahan dalam Budidaya Hidroponik


Kendala dalam budidaya hidroponik pada umumnya dijumpai pada awal mulai budidaya yang meliputi masalah investasi dan biaya produksi tinggi.  Masalah ini dapat diatasi dengan pembuatan proposal peminjaman dana usaha ke bank ataupun instansi lain yang biasa memberi dana talangan.  Permasalahan lain yang biasa dijumpai adalah permasalah teknik lapangan, seperti keterampilan, keahlian khusus dan disiplin dari pembudidaya.  Hal ini menentukan kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan.  Dengan pelatihan dan budidaya terus menerus, keterampilan, keahlian, dan disiplin dapat ditingkatkan.

 '''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''


III. BUDIDAYA TANAMAN SAWI DENGAN SISTEM KONVENSIONAL




3.1 Botani Singkat Sawi
Sawi bukan tanaman asli Indonesia, melainkan berasal dari Tiongkok baru kemudian menyebar ke daerah Asia lainnya.  Sawi dikembangkan di Indonesia karena sawi mempunyai kecocokan iklim, cuaca maupun tanah.  Berikut ini merupakan klasifikasi tanaman sawi.
Divisi               : Spermatophyta
Kelas               : Angiospermae
Sub-kelas         : Dicotyledonae
Ordo                : Papavorales
Famili              : Brassicaceae
Genus              : Brassica
Spesies            : Brassica juncea L.

Sawi termasuk sayuran yang memiliki perakaran tunggang (radix primaria), cabang akarnya berbentuk silindris, dan menyebar ke segala arah dengan kedalaman 30-50 cm.  Akar berfungsi untuk menyerap hara dan air dari dalam tanah dan menguatkan berdirinya batang tanaman.  Sawi memiliki daun berbentuk lonjong, halus, tidak berbulu, dan tidak berkrop.  Pola pertumbuhan daunnya berserak (roset) hingga sukar membentuk krop.  Sawi umumnya berbunga dan berbiji secara alami di dataran tinggi maupun rendah.  Bunga sawi tersusun dalam inflorescentia (tangkai bunga) yang tumbuh memanjang dan bercabang banyak.  Tiap kuntum bunga terdiri atas empat helai daun kelopak, empat helai daun mahkota bunga berwarna kuning cerah, empat helai benang sari dan satu buah putik yang berongga dua (Manik, 2011).

3.2 Nilai Ekonomi
Sawi merupakan sayuran yang memiliki nilai ekonomi tinggi setelah kubis-krop, kubis-bunga, dan brocolli.  Harga sawi di pasaran mencapai Rp 4.000/kg.  Harga sayuran ini bahkan dapat meningkat 2 kali lipat menjadi Rp 8.000/kg.

3.3 Nilai Gizi
Tanaman sawi sangat baik untuk kesehatan tubuh.  Berikut ini merupakan kandungan gizi setiap 100 g sawi segar.

Tabel 3. Kandungan gizi setiap 100 g sawi


No
Komposisi
Jumlah
1
Kalori
22,00 K
2
Protein
2,30 g
3
Lemak
0,30 g
4
Karbohidrat
4,00 g
5
Serat
1,20 g
6
Kalsium
220,50 mg
7
Fosfor
38,40 mg
8
Besi
2,90 mg
9
Vitamin A
969,00 SI
10
Vitamin B1
0,09 mg
11
Vitamin B2
0,10 mg
12
Vitamin B3
0,70 mg
13
Vitamin C
102,00 mg

Sawi sangat baik untuk menghilangkan rasa gatal di tenggorokan pada penderita batuk.  Penyembuh penyakit kepala, bahan pembersih darah, memperbaiki fungsi ginjal, serta memperbaiki dan memperlancar pencernaan (Manik, 2011).

3.4 Syarat Tumbuh
Sawi dapat tumbuh baik di hampir semua jenis tanah yaitu tanah-tanah mineral yang bertekstur ringan sampai liat berat maupun tanah organik seperti tanah gambut.  Untuk dapat tumbuh dengan optimal, sawi membutuhkan tanah dengan pH 6-6,5 dan temperatur lingkungan 15-20oC dengan penyinaran 10-13 jam per hari.  Suhu udara yang tinggi lebih dari 21oC dapat menyebabkan sawi hijau tidak dapat tumbuh dengan baik (tumbuh tidak sempurna). Suhu udara yang tinggi lebih dari batasan maksimal yang dikehendaki tanaman dapat menyebabkan proses fotosintasis tanaman tidak berjalan sempurna atau bahkan terhenti sehingga produksi pati (karbohidrat) juga terhenti, sedangkan proses pernapasan (respirasi) meningkat lebih besar.  Akibatnya produksi pati hasil fotosintsis lebih banyak digunakan untuk energi pernapasan dari pada untuk pertumbuhan tanaman sehingga tanaman tidak mampu untuk tumbuh dengan sempurna.  Dengan demikian pada suhu udara yang tinggi sawi hijau pertumbuhannya tidak subur, tanaman kurus, dan produksinya rendah, serta kualitas daun juga rendah.

Tanaman sawi dapat tumbuh di lahan dengan ketinggian 100 - 1.000 m dpl.  Lokasi penanamannya harus terbuka dan drainase air lancar.  Sawi termasuk tanaman yang tahan dengan curah hujan tinggi, yaitu 1000-1500 mm/tahun.  Oleh karena itu, penanaman sawi pada curah hujan tinggi dapat memberi efek yang baik bagi pertanaman sawi.  Tetapi tanaman sawi tidak tahan terhadap penggenangan.

Tanaman sawi optimal tumbuh pada kelembaban 80%-90%. Kelembapan yang tinggi tidak sesuai dengan yang dikehendaki tanaman karena akan menyebabkan mulut daun (stomata) tertutup sehingga penyerapan gas karbondioksida (CO2) terganggu.  Dengan demikian kadar gas CO2 tidak dapat masuk ke dalam daun, sehingga kadar gas CO2 yang diperlukan tanaman untuk fotosintesis tidak memadai.  Akhirnya proses fotosintsis tidak berjalan dengan baik sehingga semua proses pertumbuhan pada tanaman menurun (Manik, 2011).

3.5 Teknik Budidaya Konvensional
Mayoritas petani Indonesia masih menggunakan teknik budidaya konvensional sebagai cara untuk pembudidayaan sawi.  Berikut ini merupakan tahapan budidaya sawi secara konvensional menurut Rieuwpassa (2013).
3.5.1 Pemilihan Benih
Benih yang baik adalah benih yang memiliki daya tumbuh lebih dari 95%, vigor murni, bersih, dan sehat.  Kebutuhan benih sawi adalah 450-600 g/ha.
3.5.2 Pembibitan
Sawi termasuk jenis tanaman yang membutuhkan pembibitan terlebih dahulu karena sawi muda sangat rapuh terhadap cekaman lingkungan.  Pembibitan dapat dilakukan dalam bedengan kecil berukuran 0,5 x 1 m2 (sesuaikan dengan luas lahan yang akan ditanam) atau dalam wadah plastik.  Media tanam untuk pembibitan merupakan tanah yang telah dicampur dengan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1.  Pembibitan ini dipilih pada lokasi yang teduh atau ternaung.
Sebelum disemai, benih sawi direndam air terlebih dahulu selama ± 2 jam.  Perendaman ini bertujuan untuk seleksi benih bernas dan benih hampa.  Benih bernas akan tenggelam jika direndam dalam air.  Benih inilah yang akan digunakan untuk pembibitan.  Benih disebar secara merata di atas bedeng persemaian ataupun wadah plastik.  Setelah itu, benih disiram sampai basah dan ditutup dengan daun pisang atau karung goni selama 2-3 hari.  Bibit yang siap dipindah tanam adalah bibit yang telah berumur 2-3 minggu setelah semai.
3.5.3 Pengolahan Tanah
Lahan yang akan digunakan dicangkul sedalam 20-30 cm hingga gembur.  Setelah itu dibuat guludan dengan tingi 20-30 cm, lebar 1 m, dan panjang disesuaikan dengan bentuk atau ukuran lahan.  Jarak antarbedengan sekitar 40 cm atau disesuaikan dengan keadaan tanah.  Setelah tanah rata, permukaan bedengan diberi pupuk kandang yang sudah matang dengan dosis 100 kg/100 m2.  Semprot larutan pupuk cair 10 ml/ liter air pada permukaan bedengan, kemudian permukaan bedengan ditutup dengan tanah.  Setelah 3 hari, bedengan siap untuk ditanami.
3.5.4 Penanaman
Bedeng-bedeng yang telah siap tanam dibuat lubang tanam dengan jarak tanam 15 x 20 cm.  Tiap lubang tanam diberi 1-2 anakan.  Kemudian bedengan yang sudah ditanami, disiram hingga basah.
3.5.5 Perawatan
Perawatan tanaman sawi dilakukan dengan melakukan penyiraman rutin setiap hari pada pagi dan sore atau disesuaikan dengan kondisi curah hujan.  Penyiangan gulma perlu dilakukan untuk mencegah kompetisi gulma dan tanaman.  Pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan jika serangan hama maupun patogen sudah mencapai ambang ekonomi.  Pengendalian dapat dilakukan secara mekanik, hayati, maupun dengan pestisida kimia dan nabati. 
3.5.6 Pemanenan
Tanaman sawi siap dipanen setelah berumur 30-35 hari.  Sawi siap panen ditandai dengan ukuran daunnya yang sudah mencapai maksimal.  Pemanenan dilakukan dengan mencabut atau memotong bagian pangkal batang.  Biasanya sawi disortasi dengan cara mencabuti bagian daun yang rusak. Kemudian caisim diikat bagian akarnya, dan digabungkan dengan yang lain lalu diikat dengan tali bambu.  Sawi yang baru dipanen sebaiknya segera diletakkan di tempat teduh agar tidak cepat layu.  Kesegaran sawi dapat dipertahankan dengan memerciki sawi dengan air.  Panen yang terlambat menyebabkan sawi cepat berbunga.

3.6 Permasalahan Lapang
Permasalahan lapang yang sering dihadapi dalam budidaya sawi secara konvensional antara lain:
1.        Tanaman yang ditanam secara konvensional memiliki sedikit kemungkinan dapat mengaktualisasi potensi genetiknya menghasilkan produksi mendekati maksimal.  Hal ini karena lingkungan tumbuh tanaman di lapangan sering kali tidak berada dalam kondisi optimum.
2.        Tidak dapat tumbuh dengan baik sepanjang tahun.  Tanaman sawi tumbuh baik pada kondisi curah hujan cukup banyak karena tanaman sayuran menyukai air yang banyak.  Pada kondisi kemarau, ketersediaan air terbatas sehingga tanaman tidak tumbuh maksimal.
3.        Serangan hama dan penyakit tanaman.  Crocidolomia binotalis Zell., Plutella maculipennis, Thepa javanica, Agrotis ipsilon, dan Agriolimax sp. menjadi hama utama pada tanaman sawi sedangkan penyakit yang biasa menyerang sawi adalah puru akar (Plasmodiophora barassicae), bercak daun alternaria, busuk basah (soft rot), rebah semai (dumping off), dan embun upas (Haryanto dkk. 2007).  Hama dan penyakit ini dapat menurunkan kualitas produksi sawi hingga 50%.
4.        Pestisida.  Pada umumnya penanaman sawi konvensional belum terbebas dari pestisida, baik insektisida, bakterisida, fungisida, maupun herbisida.  Insektisida, bakterisida, dan fungisida biasanya digunakan untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman.  Sedangkan herbisida digunakan untuk pengendalian gulma.  Pestisida dapat menimbulkan residu pada tanaman.  Efek jangka panjang residu pestisida adalah menimbulkan kanker bagi konsumen.
5.        Lahan yang luas.  Budidaya sawi konvensional secara besar membutuhkan lahan yang relatif luas.
6.        Memerlukan banyak tenaga kerja.  Budidaya sawi secara konvensional membutuhkan banyak tenaga kerja untuk pengolahan lahan, penanaman, perawatan, hingga pemanenan.  Semakin luas lahan yang digunakan untuk produksi, semakin banyak tenaga kerja yang dibutuhkan.

3.7 Produksi Rata-Rata
Dengan budidaya sawi yang benar, pemenuhan unsur hara yang tepat, dan rendahnya serangan hama dan penyakit tanaman, produksi sawi secara konvensional dapat mencapai 20-25 ton/hektar (Hidajati, 2014).

'''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''''


IV.  BUDIDAYA TANAMAN SAWI DENGAN SISTEM AEROPONIK




4.1 Pengertian Aeroponik


Aeroponik berasal dari kata aero yang berarti udara dan ponus yang berarti daya. Jadi aeroponik adalah memberdayakan udara.  Aeroponik merupakan salah satu tipe hidroponik karena air yang berisi larutan hara disemburkan dalam bentuk kabut hingga mengenai akar tanaman.  Salah satu kunci keunggulan aeroponik adalah oksigenasi dari tiap butiran kabut halus larutan hara sehingga respirasi akar lancar dan menghasilkan banyak energi.  Sistem aeroponik dapat memberikan manfaat bagi petani, khususnya petani yang memiliki lahan terbatas.  Petani dapat menanam tanaman di pekarangan rumahnya karena dengan metode aeroponik tanaman ditanaman cukup dengan media yang berupa sterofom.  Prinsip aeroponik adalah  helaian sterefom diberi lubang-lubang tanam dengan jarak ±15 cm.  Dengan menggunakan ganjal busa, anak semai sayuran ditancapkan pada lubang tanam tersebut.  Akar tanaman akan menjuntai ke bawah.  Di bawah helaian sterofom terdapat sprinkler (pengkabut) yang memancarkan kabut larutan hara ke atas sehingga mengenai akar (Sutiyoso, 2003).

4.2 Teknik Aeroponik
4.2.1 Persiapan Alat dan Bahan
Pelaksanaan budidaya aeroponik sebaiknya dilakukan di dalam greenhouse.  Greenhouse digunakan untuk melindungi tanaman dari gangguan luar seperti cahaya matahari, hujan, angin, maupun hama dan penyakit tanaman.  Greenhouse dapat berupa bangunan yang atapnya terbuat dari plastik, net plastik hitam, dan kasa.  Setelah greenhouse tersedia, tahapan selanjutnya adalah menyiapkan sarana irigasi.  Irigasi merupakan hal terpenting dalam teknik budidaya ini karena sumber hara untuk tanaman akan dialirkan melalui teknis irigasi.  Alat yang dibutuhkan untuk irigasi adalah stryrofoam, tong sebagai wadah nutrisi, tendon larutan, paralon, selang PE, bak tanaman, pompa air, sprinkler, timer, filter dan generator.

Sebagai tambahan, dapat pula disediakan EC-meter (alat pengukur kepekatan hara larutan), TDS-meter (pengukur jumlah bobot garam-garam terlarut), pH meter (pengukur derajat kemasaman larutan), Oksigen-meter (pengukur kadar oksigen), Hygrometer (pengukur kelembaban), dan Termometer (pengukur temperature ruangan).

4.2.2 Persiapan Tanaman
Persiapan bibit untuk budidaya aeroponik tidak jauh berbeda dengan budidaya konvensional.  Media semai berupa arang sekam, bubuk sabut kelapa, kompos, dan tanah gembur. Tebal media di nampan semai sekitar 4 cm (diperkirakan cukup sebagai tempat berkembangnya akar).  Benih sawi ditanam dalam barisan dan di atasnya ditutup arang sekam setebal 0,5 cm.  Nampan semai diletakkan di tempat yang teduh dan penyiraman dilakukan rutin satu kali sehari.  Bibit hasil semaian dapat dipindah ke media aeroponik setelah bibit berumur 10-14 hari.  Sebelum dipindah ke media aeroponik, akar sawi dibersihkan dan dicucui dari arang sekam.  Bagian hipokotilnya dibungkus dengan busa atau rockwool.  Bibit sawi yang sudah dicabut, sebaiknya segera dipindahkan agar tanaman tidak mengalami kekeringan.

4.2.3 Pelaksanaan Sistem Aeroponik
Pelaksanaan mendasar dari sistem aeroponik adalah pemasangan rangkaian yang sedikit rumit.  Prinsip aeroponik secara detail dijelaskan pada uraian berikut ini.
Stryrofoam yang digunakan berwarna putih, panjang 2 m, lebar 1 m dan tebal 3 cm. Stryrofoam dibor  diameter 1,5 cm dengan jarak tanam 15 x 15 cm sehingga populasi yang diperoleh 44 tanaman/m2 atau 88 tanaman/helai stryrofoam. Bibit yang berumur 12 hari dimasukkan ke dalam lubang tanam yang dibantu dengan busa atau rockwool. Sekitar 30 cm di bawah helai stryrofoam dipasang  selang PE diameter 19 mm. Tiap 80 cm selang PE ditancapi  sprinkler spray jet warna hijau dengan curah (flowrate) 0,83 l/menit atau setara dengan 50b/jam dan bertekanan 1,5-2 atmosfir pada lubang sprinkler.  Tenaga untuk mendorong digunakan pompa dengan daya listrik (watt) antara 800-1.600 W dan dengan debit 200-240 l/m. pompa yang sedemikian kuatnya dapat melayani 100-150 sprinkler atau setara lahan produksi sekitar 200 m2.  Tekanan pompa min 1.5 atm, opt 2 atm (diukur dengan manometer).  Mengatur tekanan pompa perlu memperhitungkanhambatan-hambatan yang ada dalam penyaluran aliran. Misalnya, pompa berada tepat di permukaan tanah, sedangkan semua sprinkler berada pada 60 cm di atas permukaan tanah. Tenaga untuk menaikkan 60 cm keatas merupakan hambatan yang akan mengurangi tekanan dan harus diperhitungkan. Selain itu, adanya percabangaan T, siku (elbow)  pada belokan, dan keran (ballvalve) juga dapat mengurangi tekanan.  Pipa penyalur yang kecil akan menghasilkan gesekan aliran larutan dengan dinding pipa sehingga lebih baik menggunakan pipa atau selang berukuran agak besar untuk mengurangi gesekan.  Filter digunakan untuk mengurangi kotoran yang dapat menyumbat lubang sprinkler. Terdapat beberapa macam ukuran filter dari yang kecil, sedang dan besar. Ukuran tersebut menggambarkan jumlah liter aliran yang dapat dilalui per jam. Pancaran kekuatan tinggi akan membentuk kabut butiran halus dengan jarak tembak lebih dari satu meter, dengan turbulensi tinggi dan akan mengambang lama di udara sehingga dapai mengenai seluruh sistem perakaran (Sutiyoso, 2003).



Gambar 4. Ilustrasi budidaya sawi dengan aeroponik



Description: https://beamv.files.wordpress.com/2013/01/akar.jpg


Gambar 5. Akar tanaman sawi pada bubidaya aeroponik
4.3 Perbandingan Budidaya Aeroponik dengan Konvensional


Budidaya tanaman dengan aeroponik dan konvensiona tidak hanya berbeda dari segi media tanam.  Perbandingan sistem aeroponik dengan konvensional disajikan pada tabel di bawah ini.


Tabel 4. Perbedaan budidaya tanaman secara aeroponik dan konvensional


ITEM
AEROPONIK
KONVENSIONAL
Kebutuhan lahan
Luasan yang sempit masih bisa digunakan, kontur lahan tidak harus datar, produktifitas lahan tinggi
Harus luas, realatif datar, perlu rotasi, produktifitas lahan tergantung jenis tanah
Musim
Tidak tergantung musim.
Tergantung musim
Ketersediaan barang
Ada sepanjang tahun
Tidak selalu ada sepanjang tahun
Kualitas barang
Bersih, sehat, renyah, aroma kurang
Tidak selalu bersih, belum tentu sehat, relatif liat/alot, aroma kuat
Sarana & prasarana
Butuh green house, suplai listrik yang relative besar,
Tidak butuh sarana yang mahal
Teknologi
Teknologi menengah-tinggi
Teknologi sederhana
Operator
Harus mengerti teknologi, sedikit orang
Tidak perlu mengerti teknologi, banyak orang
Investasi awal
Sedang – besar
Kecil – sedang
Waktu
Pendek (1 bulan panen), tanpa pengolahan lahan, setiap hari tanam-setiap hari panen
Sedang-panjang (1,5 – 2 bulan panen), ada waktu untuk pengolahan lahan, tidak bisa setiap saat tanam dan panen
Kepenuhan nutrisi
Terpenuhi karena kita bisa mengaturnya dengan ukuran (formula) yang pasti.
Tidak selalu (pemenuhan kebutuhan nutrisi sulit diukur dengan tepat)
Hama dan penyakit
Relatif aman, terlindung oleh green house
Beresiko karena ruang terbuka
Fleksibilitas
Tanaman dapat dipindah-pindah tanpa tanpa mengganggu pertumbuhan; contoh: pada saat pompa air mati, tanaman dapat dipindah ke unit produksi yang lain.
Tanaman tidak bisa dipindah-pindah, tanaman akan stress.
Kecepatan adaptasi
Saat pindah tanam, bibit bisa langsung tumbuh tanpa aklimatisasi lama
Aklimatisasi lama


Dilihat dari banyak faktor di atas, budidaya menggunakan sistem aeroponik mempunyai peluang besar menghasilkan produksi yang lebih bagus dan lebih banyak daripada dengan menggunakan sistem konvensional.  Penelitian Ulfa (2013), menunjukkan bahwa sistem budidaya aeroponik dapat meningkatkan produksi hingga 10 kali lipat.  Keuntungan yang diperoleh dari budidaya ini bukan sebatas pada peningkatan kuantitas melainkan juga pada kualitas produk yang dihasilkan.  Kalangan menengah ke atas menjadi konsumen setia pada setiap produk yang dihasilkan dengan budidaya aeroponik.

Salah satu kunci keunggulan menanam tanaman sawi ataupun tanaman sayur lainnya dengan menggunakan sistem aeroponik adalah oksigenasi dari tiap butiran kabut halus larutan hara yang sampai ke akar.  Selama perjalanan dari lubang sprinkler hingga sampai ke akar, butiran akan menambat oksigen dari udara hingga kadar oksigen terlarut dalam butiran meningkat.  Dengan demikian proses respirasi pada akar dapat berlangsung lancar dan menghasilkan banyak energi sehingga pertumbuhan tanaman meningkat.  Selain itu, dengan pengelolaan yang terampil, produksi dengan sistem aeroponik apat memenuhi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas (Sutiyoso, 2003).









V. KESIMPULAN




Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa:
1.    Teknik hidroponik meliputi hidroponik substrat, rakit apung, NFT, ebb and flow, dan aeroponik.
2.    Budidaya sawi dengan aeroponik dilakukan dengan pemberian hara ke tanaman sawi dengan pengkabutan.
3.    Budidaya sawi dengan aeroponik lebih menguntungkan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dibandingkan budidaya konvensional.

































DAFTAR PUSTAKA




BP3K Bansari. 2010. Formula Larutan Hidroponik/Aeroponik A+B. Badan Penelitian Pengembanan Pendidikan dan Kebudayaan Bansari. Temanggung. Jawa Tengah.

Haryanto, E., T. Suhartini, E. Rahayu, dan H. Sunarjono. 2007. Sawi dan Selada. Jakarta: Penebar Swadaya.

Hidajati, W. 2014. Varietas dan Persemaian Benih Sawi Caisim (Brassica rapa cv. Caisim) dan Pakcoy (Brassica parachinensis) dengan Teknologi EMP. http://cybex.deptan.go.id/penyuluhan/varietas-dan-persemaian-benih-sawi-caisim-brassica-rapa-cv-caisim-dan-pakcoy-brassica-par. Diakses pada 4 November 2014.

Leo. 2009. Aeroponik. http://aeroponik-leo.blogspot.com/. Diakses pada 7 November 2014.

Lingga, P. 2004. Hidroponik: Bercocok Tanam Tanpa Tanah. Jakarta: Penebar Swadaya.

Manik, S.H. 2011. Pemanfaatan Pupuk Organik Untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Sawi (Brassica juncea L.) Varietas Tosakan dan Dora. (Skripsi). Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara.

Rieuwpassa, A.J. 2013. Teknologi Budidaya Sawi.  Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Maluku.

Sutiyoso, Y. 2003. Aeroponik Sayuran. Budidaya dengan Sistem Pengabutan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Ulfa, F. 2013. Peran Senyawa Bioaktif Tanaman sebagai Zat Pengatur Tumbuh dalam Memacu Produksi Umbi Mini Kentang (Solanum tuberosum L.) pada Sistem Budidaya Aeroponik. Program Studi Ilmu Tanaman. Universitas Hasanuddin. Makassar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

ANALISIS VEGETASI

ANALISIS VEGETASI (Laporan Praktikum Ilmu dan Teknik Pengendalian Gulma) Oleh Kelompok 7 Desna Herawati Diki Apriadi Dwi Safitri Habiba Nurul Istiqomah Heru Dwi Purnomo JURUSAN AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

Laporan Kemiringan Lereng

I.                    PENDAHULUAN 1.1               Latar Belakang Topografi merupakan bentuk permukan bumi dipandang dari kemiringan lereng dan beda tinggi dari permukaan laut.   Permukaan tanah dengan beda tinggi dan kemiringan yang sangat besar, maka disebut topografinya bergunung, sedangkan untuk beda tinggi dan kemiringan yang lebih rendah secara berurutan disebut berbukit, bergelombang, dan berombak.   Ilmu yang membahas tentang topgrafi ini disebut geomorfologi.   Dua unsur topografi yang banyak dibahas dan besar pengaruhnya terhadap erosi adalah panjang lereng ( length ,) dan kemiringan lereng ( slope ). Bentuk lereng tergantung pada proses erosi, gerakan tanah, dan pelapukan.   Sedangkan, kemiringan lereng terjadi akibat perubahan permukaan bumi di berbagai tempat yang disebabakan oleh daya-daya eksogen dan gaya-gaya endogen.   Hal inilah yang mengakibatkan perbedaan letak ketinggian titik-titik diatas permukaan bumi. Kemiringan lereng terjadi akibat

Perombakan Bahan Organik dan Siklus Nitrogen

A.     PEROMBAKAN BAHAN ORGANIK 1.         Sumber Bahan Organik Bahan organik berasal dari sisa-sisa hewan, serasah tumbuhan, dan limbah pertanian. Semua sumber bahan organik mengandung air, bahan mineral (abu), dan senyawa organik. Kandungan air adalah 20%-90% dari berat basah tanaman. Kandungan ini dipengaruhi oleh organ tanaman yang diambil dan umur tanaman tersebut. Kandungan air pada daun akan jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan air pada akar tanaman. Bahan mineral (abu) meliputi K, Ca, Mg, Na, P, S serta unsur mikro kurang lebih 1%-10% berat kering. Senyawa organik menyusun <50% berat segar tanaman. Kandungan senyawa organik ini sangat dipengaruhi oleh kandungan air dan debu (Sutanto, 2005). Sutanto (2005) dalam bukunya menyebutkan bahwa senyawa organik dibedakan atas: §      Karbohidrat, yaitu gula dan pati (mengandung sel), pektin, hemiselulosa, selulosa (dinding sel). Karbohidrat merupakan penyusun senyawa organik terbesar penyusun bahan organik (>